36. Luka

9 2 0
                                    

Gelap malam sudah berganti terangnya pagi, namun tampaknya Bayu masih terjebak dalam euforia bayang-bayang kejadian di dalam gua dan berakhir tak sanggup untuk memperbarui kinerja otaknya. Kejanggalan demi kejanggalan datang silih berganti layaknya benang kusut yang membuat kesadarannya terjaga semalaman. 

Bayu duduk termenung sembari memusatkan fokus ke arah jendela. Membiarkan sinar matahari menimpa wajahnya, berharap sensasi panas itu kembali membangkitkan semangatnya, setidaknya untuk menyelesaikan kasus ini dan pergi dari desa bunglon secepatnya. Jujur, Bayu mulai muak dengan para warga disini, kehidupan, kegiatan misterius mereka, Bayu mulai muak. Kegiatan yang semalam ia saksikan seolah meninggalkan bekas yang cukup mendalam baginya. Hanya rasa sakit dan frustasi yang Bayu dapat selama tinggal disini. 

Banyak pertanyaan yang muncul namun masih belum bisa Bayu jemput jawabannya. Bayu sudah menyaksikan semuanya, mulai dari acara persembahan warga hingga para wanita yang berakhir dikurung di dalam kotak kayu dan didiamkan di dalam gua. Terkesan biadab dan melawan norma manusia pada umumnya.

Iya, sekarang seharusnya Bayu berlari secepatnya ke gua untuk menyelamatkan mereka bukannya malahan duduk santai menikmati paparan sinar matahari pagi.

Semalam Tohip datang kembali pada Bayu dan bilang bahwa Cahyadi akan terus mengabdikan dirinya untuk berada di sisi warga dan mencari tahu informasi sebanyak mungkin. Bayu tertawa sumbang, bahkan ia mengakui kalau dirinya lebih pengecut daripada Cahyadi. Ia bahkan tidak berani menerobos gua itu sendirian sekarang. Bayu takut berakhir dalam keadaan yang sama seperti Tika dan Kori.

Dilanda kebingungan, Bayu hilang arah atau lebih tepatnya tidak tahu tindakan apa yang harus ia ambil untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya. Ingin sekali mengulang kembali setiap detail kejadian sedari awal, tapi kinerja benaknya mulai lelah.

Hingga suara ketukan pintu membuat lamunannya terputus.

Tohil dengan napas terengah-engahnya berdiri di depan Bayu dan tahu-tahu menunjuk ke arah luar.

"Abi! Abi sekarat!"

Setelah aksi menggemparkan yang Bayu saksikan di gua semalam ternyata ada hal di luar kendalinya juga terjadi. Seharusnya Bayu dan Abi sama-sama menyelidiki warga hingga ke gua tapi entah bagaimana, Bayu berakhir sendirian hingga dirinya bertemu dengan Tohip. Selepas malam itu, subuh pagi Bayu mencari Abi kemanapun tapi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan pria itu. Bayu sempat menarik kesimpulan, bisa saja Abi berubah pikiran dan malah memihak oara warga desa.

Tak bisa menutupi keterkejutannya Bayu bertanya cepat, "Dimana dia?"

"Di pintu masuk desa, keadaannya sekarat."

---

Kakinya menapak lemah di atas tanah. Jalannya tergopoh-gopoh sembari menyeret kaki. Bercak tanah membedaki kaos putihnya hingga ke area wajah. Banyak terdapat goresan luka pada area pelipis, pipi dan kedua lengannya. Memar, goresan mirip cakaran, serta celana jeansnya yang koyak menampakkan luka dengan darah yang hampir mengering. Tubuhnya seakan hilang keseimbangan dan melemah saat Sarung sekonyong-konyong menghampiri Abi dan berakhir ambruk ke pundak Sarung. Sarung memapah Abi, melingkarkan lengannya ke leher pria itu diikuti para warga lainnya yang datang membantu dirinya.

Suasana mendadak ricuh seketika, para warga serempak beralih profesi. Ada yang bertugas layaknya tim medis jadi-jadian, ada yang bertugas menjadi detektif gadungan sebab teringat akan detailnya penjelasan Bayu kemarin atau lebih tepatnya terpana, tak menutup kemungkinan ada yang bertugas menjadi si pengkomentar.

Begitu sampai pada lokasi yang dibilang oleh Tohip, Bayu langsung meliukkan badan dengan cepat diantara lautan warga yang mengepung Abi dan spontan berjongkok saat melihat Abi berbaring tak bersdaya dengan kepala di atas pangkuan Sarung.

"Nak Bayu! Abi!" teriak Sarung begitu mendapati kehadiran Bayu.

Rena Bayu segera bergerak meneliti keadaan Abi sebelum meringis sebab mendapati banyaknya goresan luka baik besar maulun kecil di sekujut tubuh Abi. Entah apa yang terjadi dengannya semalam, padahal terakhir kali mereka bertemu Abi dalam keadaan baik-baik saja. Hingga m lengannya berakhir hinggap di pundak abi dan menggoyangnya pelan berharap kesadaran pria itu masih ada diantara kedua renanya yang perlahan menutup lemah.

"Abi? Apa yang terjadi denganmu?" sentak Bayu dengan nadanya yang cukup keras, berharap Abi dapat kembali membangkitkan kesadarannya.

Tidak ada jawaban yang keluar membuat Bayu segera mengecek pelipis dan area hidungnya. Pelipisnya sangat dingin menandakan Abi terjaga di lingkungan luar dengan jangka waktu yang cukup lama dan spekulasi Bayu untuk saat ini adalah pria itu sehabis dari hutan, namun beruntung Abi masih bernapas.  

"Dia mau bicara!" interupsi Ujang.

Dengan kedua matanya yang terpejam erat, mulut Abi tiba-tiba terbuka namun hanya udara yang keluar. Saat ini, tubuhnya terlalu lemah untuk berbicara atau bahkan perutnya terasa sakit saat ia berusaha untuk menarik napas kuat-kuat.

"Apa yang kalian lakukan disini?" dari arah belakang, Pak de Teo tiba-tiba muncul sebelum pandangannya berhenti pada Abi dengan keadaan mengenaskannya.

"Bawa Abi ke rumahnya," perintahnya kemudian yang diangguki para warga. Mereka sontak memapah Abi bersama-sama menjauh dari pintu masuk desa meninggalkan pak de Teo dan Bayu disana.

Pak de Teo melirik ke arah Bayu yang tampakmenancapkan pandangan kosongnya ke depan sembari berjongkok dan tak beranjak dari sana sedikitpun, entah apa yang sedang dipikirkan pria itu.

Kepala Bayu terasa berdenyut untuk sesaat. Ia tidak mungkin salah menafsirkan perkataan Abi tadi. Walau tanpa suara, Bayu dapat membaca dengan jelas pergerakan bibir Abi yang mengarah pada satu pesan penting untuknya. Ingin sekali Bayu menepisnya namun ia berakhir kembali pada kekhawatirannya yang tidak dapat dibendung. Apakah benar? Pertanyaan itu terus ia ulang.

Apakah benar Airini sudah meninggal?

---

"Aku melihat banyak luka di tubuhnya, apa mungkin dia sehabis dari hutan?" Sarung bertanya sembari menjejalkan pandangan ke arah warga yang kini tengah berkumpul di sekitaran pondok. Setelah mengantarkan Abi pada Rahayu, yang pastinya mereka melewati serangkaian reaksi yang mengejutkan lagi. Rahayu tampak sangat terkejut akan keadaan Abi bahkan menangis histeris, dengan napas tersendat-sendat wanita itu menyuruh mereka mengantarkan Abi ke dalam kamarnya dan berujar akan merawat putranya sendiri. Satu hal yang dapat warga syukuri, mereka tidak mendapat amukan Rahayu lagi. Sebab teriakan wanita itu dulu masih meninggalkan bekas yang cukup mendalam bagi para warga.

"Siapa yang kalian maksud?" tanya Cahyadi sembari menautkan alis.

Gabus menoleh ke arah Cahyadi, "Kau tidak melewati pintu masuk desa tadi? Abi, kita sedang membicarakannya. Dia tiba-tiba pulang dengan keadaan yang mengenaskan."

Cahyadi yang tak mampu menutupi keterkejutannya langsung melempar pertanyaan lagi, "Dia terluka parah?" sudah hendak berdiri sebelum dicegat oleh salah satu warga yang tengah berkumpul.

"Sebaiknya jangan menghampirinya dulu."

Ujang menangguk setuju, "Mbak Rahayu sedang merawatnya. Kalau lukanya bisa dibilang cukup parah, aku tidak mengerti apa dia pergi jalan-jalan ke hutan sendirian dan berakhir di kejar harimau?" Ujang menerawang ke langit-langit seolah membayangkan kejadian itu dalam benaknya.

Sarung melirik ke arah pak de Teo yang terdiam sedari tadi kemudian mengibaskan lengannya, "Jang, tidak mungkin."

"Apa mungkin Abi sehabis dipukuli? Aku melihat memar di area bibirnya tadi. Mirip seperti luka Cahyadi kemarin," selepas Ujang berbicara begitu, perhatian warga langsung tersedot ke arahnya tak terkecuali pak de Teo.

"Tidak mungkin," pak de Teo tiba-tiba berujar dengan nada kerasnya yang terkesan membentak atau lebih tepatnya refleks terkejutnya sebelum beranjak pergi dari pondok tanpa memberikan keterangan apapun akan tindakannya barusan. Tentu hal itu membangkitkan banyak pertanyaan dalam benak warga termasuk Cahyadi yang menatap lurus ke arah punggung pak de Teo hingga hilang di ujung jalan.

"Aku sudah bilang, aku kurang berhati-hati waktu itu dan jatuh. Itu hanya luka biasa," ujar Cahyadi kemudian tersenyum kecil.

▪️▪️▪️

-A.W-

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang