Bagian enam belas

440 87 13
                                    

Selamat membaca 💜
.
.
.
.
.

"Kau ... jadi mengirimkan pesan itu?"

"Kau takut?"

Seonmi mengangguk. Memandang ketar-ketir pada layar ponselnya usai Mina meminjamnya untuk sesuatu. Berulang kali Seonmi meneguk ludah dengan susah payah. Ia tidak pernah mempermainkan perasaan seseorang sejauh ini sebelumnya.

"Apa yang kau takutkan? Ini semua demi Hajoon. Oppa itu keras kepala tapi tolol. Kapan lagi menyadarkannya jika bukan sekarang?"

"Aku sudah berusaha sebaik mungkin dan Oppa-mu tetap teguh pada pendiriannya. Kupikir jodohnya memang Namra," ucap Seonmi sembari membawa pandangannya pada hingar bingar kota Seoul melalui atap rumahnya.

"Eonni, kau gila?"

"Kau persis seperti Jimin. Suka sekali mengatai aku gila," Seonmi mengulas senyum hambar. "Tidak apa, Mina. Aku baik-baik saja," sambungnya.

Jangan salahkan Seonmi melakukan semua ini. Perempuan itu hanya ingin bermain halus. Ia sudah coba melihat dengan perasaannya dari sudut pandang mana pun. Memekik keras di hadapan keluarga Kang dengan mengatakan bahwa Hajoon bagian dari mereka tidak akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Banyak orang yang pasti malah melimpahkan kesalahan padanya.

Kali ini Seonmi tidak mau disalahkan. Ini semua salah Jimin. Biar dikatakan ia egois. Lagipula, njika ditelusuri lebih mendalam akar permasalahannya juga akan berujung pada pria Kang berbibir tebal itu. Lalu yang paling menderita siapa? Tentu saja Hajoon dan dirinya. Maka dari itu sebisa mungkin Seonmi menghindarinya. Seonmi sudah cukup menderita empat tahun terakhir. Sekarang tidak lagi.

Jadi, Seonmi pikir membawa Mina masuk lebih dalam di rencananya hanya akan memperbesar kemungkinan ia semakin disalahkan jika suatu saat rencana terbongkar.

Sejujurnya tidak melulu tentang uang. Seonmi masih punya ibunya kendati rasa kesal dan benci itu masih ada. Seonmi yakin ibunya akan maju di garis terdepan saat mengetahui apa yang dia dan Hajoon alami. Minseok memiliki beberapa apartemen dengan harga fantastis. Nama Jin Minseok diam-diam juga terkenal di banyak lembaga amal. Sebab ibu Seonmi itu selalu memasukkan pendapatan kelabnya pada banyak panti asuhan.

Berkali-kali wanita paruh baya itu memaksa Seonmi untuk turut menikmati fasilitas yang ia miliki, tapi Seonmi menolaknya. Hidup hemat demi masa depan Hajoon, katanya. Mungkin rasa benci karena Minseok pernah menjadikannya sebagai salah satu pekerja seks komersial di kelabnya dulu masih belum hilang.

"Hajoon hanya menangis untuk sementara waktu. Aku memang menyukai Jimin, tapi mental anakku lebih utama," jelas Seonmi dengan nada lirih. Perempuan itu mencuri-curi pandang wajah Mina. Gadis itu tampak berpikir. Wajah Seonmi mencetak senyum asimetris sangat tipis. Ya, Mina, adik Jimin ini harus percaya padanya.

"Baiklah-baiklah. Minimal beri aku tanggung jawab penuh sebelum pernikahan oppa dan Namra eonni."

"Aku akan tetap pindah ke Busan, Mina. Itu sudah keputusan final."

"Eonni," rengek Mina tidak terima.

"Aku akan mengirimkan hasil tes itu setelah lima hari. Jika kau ingin memberikannya setelah pernikahan tidak masalah. Aku tidak mau berharap banyak. Bukankah dia sendiri yang mengatakannya? Bahwa jika Hajoon terbukti anak kandungnya, itu tidak akan merubah apa pun. Kakakmu ... hanya akan bertanggung jawab atas Hajoon. Hanya ... Hajoon saja," Seonmi menurunkan oktaf suaranya di akhir kalimat.

Hembusan angin malam yang menerpa wajah membuat helai anak rambut di samping telinga Seonmi melambai-lambai. Rasa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori membuat Seonmi merapatkan kardigan berwarna putih tulang yang ia kenakan. Matanya berkaca-kaca. Seharusnya ini hanyalah sandiwara. Seonmi ingin balas dendam pada Jimin. Namun kenapa terasa seperti ia hanya mengikuti arus takdir? Kenapa seperti seolah ia hanya berpasrah diri pada sebuah harapan yang abu-abu?

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang