Bagian tiga

575 108 3
                                    

Selamat membaca 💜
.
.
.
.
.

Pikirannya buntu, antara percaya tidak percaya bahwa ingatannya pada sebuah upacara kuno yang pernah diselenggarakan oleh salah satu teman ibunya itu kian jelas. Mempelai wanita akan diberi sebuah tempelan selebar sedotan buble tea berwarna merah darah di antara kedua alis dan masing-masing pipi. Gaun hanbok yang dipakaikan padanya adalah Hwal-ot, bagaimana Seonmi bisa lupa? Ini gaun pernikahan, pantas saja sangat tidak asing.

"Tuan, kenapa nenekmu memerintahkan para pelayan ini memakaikan Hwal-ot padaku? Kita benar-benar akan menikah? Akan tetapi, bukan seperti ini yang kau katakan," tekan Seonmi pada Jimin dengan nada berbisik.

"Maaf, Nona. Aku tidak pernah mengira nenek akan bertindak sejauh ini, kupikir nenek sudah langsung percaya setelah aku mengatakan padanya bahwa kita sudah menikah. Bagaimana jika kita melakukannya saja, ini pernikahan palsu. Aku tidak akan menuntutmu berlaku sebagai seorang istri yang sesungguhnya, aku bersungguh-sungguh."

Wajah Jimin pucat pasi. Pria dua puluh tujuh tahun itu juga tidak menyangka jika kebohongan yang ia ciptakan pagi ini akan membawanya pada situasi yang tidak seharusnya terjadi.

"Tuan, bagaimana ini? Aku tidak mungkin menikah denganmu, ibu akan memarahiku," ujar Seonmi cemas.

"Kalian sudah siap?" Keduanya menoleh pada presensi nenek Jimin yang telah berpakaian hanbok rapi dengan dandanan sederhana.

"Nenek, ada apa semua ini? Kenapa memakaikan kami pakaian seperti ini?" tanya Jimin.

"Kenapa apanya? Bukankah kalian sudah menikah? Seharusnya tidak menjadi masalah jika mengulang pernikahan dengan adat tradisional kita."

"Tapi, nek-"

"Ayo ke pekarangan, para tamu undangan sudah menunggu."

Setelah saling memandang dan Seonmi mendapati Jimin memasang air wajah memelas, Seonmi pun menurut. Mereka berjalan beriringan menuju pekarangan rumah yang Seonmi ketahui memang sangat luas. Namun, sejauh matanya menangkap situasi setelah turun mobil, pekarangan rumah ini kosong dan tidak ada tanda-tanda suatu acara akan dimulai.

Seonmi bertanya-tanya dalam benak, seberapa banyak pelayan yang dimiliki nenek Jimin? Bagaimana mereka bisa secepat ini menyiapkan dekorasi?
Memang terbilang sederhana, sebab Seonmi pun tahu pernikahan yang akan digelar adalah pernikahan dengan ritual kuno. Akan tetapi dalam jangka waktu satu jam? Mustahil jika semua ini hanya dikerjakan oleh dua sampai tiga orang. Lupakan hal itu, kini rasa takjub akan hal-hal klasik tidak bisa untuk tidak mengetuk sisi sederhananya. Salah satu sudut pekarangan sudah dipasang tenda bernuansa putih. Di bagian tengahnya ada sebuah meja yang terdapat tiga jenis buah berbeda warna, beras, kacang, kurma, arak beras, chesnut dan lilin. Relatif kuno. Tidak ada hiasan yang berlebihan bahkan tidak ada bunga hidup di pekarangan yang dijadikan tempat pernikahan ini. Lalu pada bagian belakang tempat yang akan dijadikan altar hanya ada semacam dinding papar bergambar tanaman bunga dan burung yang sedang terbang.

"T-tuan, kita sungguh akan menikah?" tanya Seonmi, lagi. Jimin merapatkan bibirnya dan mengangguk sungkan. Pria bermata sipit itu tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Semua ini benar-benar di luar rencananya berlibur ke Busan di akhir pekan. Bukan mendapat ketenangan, kini kepalanya pening dan terasa hampir pecah.

"Sekali lagi maafkan aku, nona Jin," lirih Jimin.

"Kita akan memulai Jeon An Rye," seru pendeta.

Keduanya saling bersitatap. Jimin bersusah payah mengendalikan raut wajah bahagianya ketika ia melirik ke arah sang nenek dan risau sebab takut jika Seonmi membongkar segalanya. Pandangannya tampak sayu menatap ke arah Seonmi yang masih tampak bingung ketika Jimin ditarik beberapa pelayan untuk keluar pagar rumah. Karena sebenarnya, tahap ritual Jeon An Rye pengantin pria baru akan memasuki rumah mempelai wanita untuk memberikan patung kayu angsa liat pada sang calon ayah mertua.

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang