Bagian sembilan belas

431 80 22
                                    

Selamat membaca💜
.
.
.
.
.

"Pada akhirnya kau tetap membutuhkan bantuanku, 'kan?"

"Kau tidak mau? Aku tidak memaksa, kau boleh pulang."

"Aku di sini bukan untukmu, dasar manusia sok baik."

"Kau di sini karena ingin makan biskuit cokelat Hajoon buatanku."

"A—apa kau bilang? Biskuitnya keras seperti batu, kau bisa merusak lambung cucuku jika memberikannya terlalu banyak."

"Bukankah tidak ada bedanya, perutmu dan Hajoon? Benda keras itu akan merusak perutmu juga, kenapa masih memakannya?"

"Ck! Dasar pelit. Aku akan membelinya. Katakan bera—,"

"Tidak diperjual belikan," sela Seonmi.

Merasakan guyuran hangat sinar matahari pagi di atas kursi goyang di halaman belakang sepertinya sudah menjadi kebiasaan Seonmi sejak tiga bulan terakhir. Sempat merasa khawatir sebab penyataan dokter sebulan lalu tentang perkembangan makhluk mungil dalam perutnya itu ternyata lebih lambat dari yang semestinya. Namun kini tidak lagi, Seonmi tidak pernah merasa selega itu.

Tak henti memuji diri sendiri sebab berhasil mendapatkan rumah yang letaknya sangat strategis. Dekat dengan sekolah, pasar dan taman kota. Beruntung Hajoon adalah anak yang aktif dan pandai berbaur dengan masyarakat. Saat memindahkannya dari Seoul, bocah itu bahkan hanya perlu waktu dua bulan untuk mempelajari dilaek Busan. Bangga? Tentu saja. Selalu bersyukur sebab Hajoon menuruni kecerdasan sang ayah.

"Ah, iya. Papa Hajoon akan ke sini hari ini. Berhenti memakan itu dan pulanglah, Bu," Seonmi menegakkan badannya. Menoleh ke arah Minseok yang tengah duduk bersila di teras depan dapur bersama sebuah toples berisi cookies cokelat yang tinggal separuh.

"Ah, masa bodoh. Suruh saja perempuan sialan itu membuatkan untuk suaminya," Minseok berdecak kesal. Masih dengan mulut penuh dengan biskuit.

"Ibu, aku masih istrinya. Dia berhak memakan apa yang kumasak," ujar Seonmi sembari menyunggingkan senyum tipis. Pandangannya mengarah lurus ke arah langit cerah yang dipenuhi awan putih.

"Dan, ya! Berhentilah memakai baju crop dan hot pants seperti itu. Apa perutmu tidak kedinginan?" hardik Minseok dengan oktaf tinggi.

"Aku nyaman pakai begini, kok," bantah Seonmi. "Tidak ada yang mengganggu. Lalu, apa masalahnya?"

"Oh! Ya Tuhan ... Apa yang harus kulakukan untuk anak berkepala batu ini," gumam Minseok. Wanita paruh baya itu menarik napas dalam-dalam. "Sudah masuk musim dingin, kau bisa terkena hipotermia. Sepertinya akan turun salju, malam ini."

"Salju pertama, ya ...."

Seonmi menatap telapak tangan yang berada di atas perutnya yang sudah tampak mulai membuncit. Pikirannya melayang jauh. Akhirnya ia bersenandung kecil sebelum berakhir memejamkan mata guna membawa ingatannya kembali pada kejadian tiga bulan lalu.

"Nyonya, kapan terakhir kali kau mendapatkan menstruasimu?" tanya seorang Dokter pada Seonmi yang masih berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan jarum infus yang tertancap di punggung tangannya. Seonmi dengan wajah pucatnya berkedip pelan. Mengingat-ingat periode merahnya.

"Sekitar tanggal tujuh bulan kemarin," jawab Seonmi pelan.

"Apa selalu rutin tanggal tujuh?" tanya Dokter kembali.

"Kurasa ... tanggalnya selalu saja maju. Sebelum bulan lalu, aku menstruasi sekitar tanggal sembilan," Seonmi berkata canggung.

"Apa itu berarti kau belum mendapatkan menstruasimu bulan ini?"

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang