Bagian tiga puluh empat

513 77 30
                                    

Selamat membaca💜
.
.
.
.
.

Berdalih kenyang dan harus segera ingin mencuci piring, Seonmi meninggalkan meja makan dengan santai kendati sarapannya masih belum habis. Ia pikir ini demi kebaikan Jimin dan Hajoon juga. Ayah dan anak itu harus mulai dekat kembali dengan menghabiskan waktu bersama.

Saat sang ibu sudah menghilang dari sebelahnya. Hajoon bersikap apatis. Ia masih menyantap nasi dengan lahap, memasukkan begitu banyak potongan dadar gulung ke dalam mulut. Ia tahu betul Jimin sedang menatapnya, ia sengaja. Ingin cepat-cepat menyelesaikan kegiatan menyarapnya dan berangkat sekolah. Malas sekali terlibat percakapan dengan pria tua itu.

"Ibu, antarkan aku ke sekolah," pinta Hajoon sembari menyodorkan alat makan yang telah kosong.

"Hm? Di mana sepedamu?"

"Kemarin aku meninggalkannya di sekolah."

"Kenapa?"

Hajoon melirik Jimin. Ya, sepeda miliknya tertinggal di sekolah karena Jimin mengajak ia berbincang sebentar di kafe usai menolak tawaran Manajer Han. Saat Hajoon merasa pria itu mulai mengatakan hal-hal yang tidak jelas, ia berlari pulang ke rumah tanpa mengambil sepedanya.

"Sudah siap semua? Aku akan mengantarmu."

"Ya, ayah akan mengantarmu bagaimana?"

"Ibu ..., ck!"

Hajoon memutar bola matanya jengah. Tanpa menjawab Jimin ia bertolak punggung, berjalan menuju pintu keluar dengan lunglai. Memakai sepatu baru yang dibelikan Jimin kemarin dengan kesal, lalu melangkah keluar. Seonmi dan Jimin saling memandang dengan ekspresi bingung.

Beberapa menit Hajoon menunggu di pelataran, tapi Jimin tak kunjung menampakkan diri. Menyadari hal itu, Hajoon membuang napas kasar dan kembali membuka pintu rumah.

"Aku akan terlambat. Jika tidak berniat mengantar, jangan menawari!"

Ia tutup pintu rumah dengan kesal hingga menimbulkan suara debuman nyaring. Padahal Hajoon tahu Jimin sudah bersiap, hanya tinggal memakai jas.

"Tahu begitu, aku jalan kaki saja dari tadi. Memang ayah tidak berguna!" Hajoon mendesah di depan pagar tanpa tahu bahwa di baliknya terdapar Jimin dan Seonmi yang sudah berdiri di sana hendak keluar. Mendengar hal itu Jimin tersenyum getir. Ia mengulum bibir seraya memijat keningnya. Wajah Jimin berubah murung dan frustasi.

Kecewa, tentu saja. Seonmi tahu raut wajah Jimin sangat jelas menggambarkan jika pria itu sedang merasa kecewa. Atau mungkin rasa bersalahnya pada Hajoon semakin besar. Seonmi sendiri tak dapat mengendalikan kekecewaan itu pada sang anak. Sungguh, ia tidak pernah mengajari Hajoon kata-kata kejam seperti yang baru saja bocah itu geramkan.

"Hajoon, Jaga bicaramu!"

Bocah itu tersentak. Lantas menoleh ke samping. Seonmi dengan wajah marah terlihat seperti ingin memukul mendekatinya. Hajoon berjalan ke belakang beberapa langkah. Sudah lama sekali ia tidak melihat wajah ibunya yang seperti ini.

"Apa aku mengatakan hal yang salah? Jika tidak berniat mengantar tidak apa, aku bisa jalan kaki. Setidaknya katakan itu lebih awal. Tidak sampai aku terlambat begini?!" teriak Hajoon pada Seonmi

"Dia ayahmu, Hajoon?! Lagipula kenapa kau tidak bilang lebih awal jika tidak mau diantar?"

"Seonmi hentikan ...., aku yang salah di sini. Seharusnya aku bersiap lebih cepat," ucap Jimin berusaha menenangkan.

Gurat kecewa tampak mendominasi wajah Hajoon. Ia meremat tasnya kuat-kuat. Apa benar ibunya lebih memilih membela pria Kang ini daripada anak sendiri. Sungguh Hajoon tidak pernah menduganya.

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang