Bagian empat

508 102 12
                                    

Selamat membaca💜
Vote Juseyo🙏
.
.
.
.
.


Adalah Jimin yang membuat kesepakatan untuk tidak saling berbicara formal dengan Seonmi. Tentu saja akan terlihat aneh jika sepasang suami istri memanggil dengan sebutan tuan dan nona.

"Apa kau bisa memasak?"

Seonmi yang sedang duduk di depan meja rias untuk memoles wajahnya yang sedikit membengkak dengan beberapa alat make up menghentikan aktifitasnya sebentar. Memandang Jimin bertelanjang dada yang tengah berdiri di depan pintu kamar mandi seraya mengusak rambut basahnya dengan handuk kecil melalui pantulan cermin.

"Hm?"

"Iya, memasak. Apa kau bisa memasak?"

Seonmi menatap Jimin sembari mengulum bibirnya ke dalam mulut, lalu menggeleng samar.

"Terakhir aku memegang panci penggorengan, mungkin ... sepuluh tahun lalu," jawab Seonmi akhirnya.

"Berapa umurmu? Dua puluh tiga? Dua puluh lima? Jangan konyol! Di umurmu itu, setidaknya kau harus bisa membuat telur dadar, 'kan? Kau akan mempermalukan ku di depan nenek nanti," gerutu Jimin.

Seonmi lantas bangkit dari tempatnya duduk. Menatap presensi pria Kang itu dengan menyipitkan mata diiringi seringai sinis. Kemudian mengibaskan rambutnya secara sengaja hingga mengenai wajah Jimin sebelum berjalan menuju pintu. Sebelum ia menurunkan gagang pintu untuk membuka, ia menoleh ke belakang. Satu sudut bibirnya terangkat tipis.

"Baiklah, aku akan memegang panci penggorengan lagi untukmu. Kemudian saat asap memenuhi dapur dan nenekmu bertanya padaku 'apa ibumu tidak pernah mengajarimu memasak?' Aku akan dengan antusias menjawab 'Maafkan aku, Nek. Ibuku hanya mengajarkan bagaimana memuaskan pria hidung belang di atas ranjang dan juga ... cucu kesayanganmu itu adalah salah satunya'," ejek Seonmi kelewat santai.

Gadis bersurai coklat pekat sepunggung itu akhirnya menekan gagang pintu hingga terbuka. Mengerling nakal ke arah Jimin yang masih menatapnya kosong, belum mencerna apa ia katakan padanya.

Beberapa saat setelah presensi gadis itu benar-benar menghilang di balik pintu, Jimin berdecak. Membuang sehelai rambut Seonmi yang rontok di atas wajahnya dan berlari mengejar Seonmi. Jimin berharap gadis itu belum sampai dapur dan bertemu sang nenek. Ya ... semoga saja.

Jimin berhenti sejenak untuk mengambil napas setelah berhasil menemukan Seonmi sedang berbincang dengan salah satu pelayan. Tanpa pikir panjang, ia segera menghampiri Seonmi dengan langkah kasar. Mengabaikan keadaannya yang masih bertelanjang dada dan hanya memakai handuk sebatas pinggang untuk menarik pergelangan tangan Seonmi.

"Jimin-ssi! Kau gila?" bisik Seonmi penuh penekanan saat mendapati Jimin menariknya paksa tanpa peduli tatapan yang menurutnya aneh dari para pelayan.
Tidak tahu juga bahwa apa yang ia katakan berhasil membuat Jimin menghentikan langkah kasarnya secara tiba-tiba tepat di depan pintu kamar mereka karena ia terlalu fokus melihat ekspresi para pelayan.

"Apa kau bilang? Gila? Apa aku tidak salah dengar? Berani sekali kau menyebut aku gila, dasar jalang murahan," sergah Jimin dengan wajah dingin.

"I-iya! Kau tidak salah dengar, kau gila!?" jawab Seonmi sedikit gugup. Gadis itu memalingkan pandangannya ke udara lain. Sejujurnya baru kali ini ia melihat Jimin dengan wajah serius. Dalam benak ia merutuki perkataannya. Kalau begini, ia jadi merasa aneh sendiri jika mengeluh tentang Jimin yang menyebutnya jalang murahan.

"Ada apa ini, Jimin?"

Dengan serentak keduanya menoleh ke arah sumber suara. Ada nenek Han di sana menatap lurus ke arah bola mata mereka bergiliran lalu berujar, "kalian sudah bertengkar, sepagi ini?" sambung nenek Han.

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang