Bagian dua puluh sembilan

460 71 34
                                    

Selamat membaca💜
.
.
.
.
.

"Ibu, aku ingin berhenti renang."

"Kenapa tiba-tiba, hm?"

"Aku belum siap bertemu dengan paman Kang." Seonmi terkekeh kecil.

"Paman Kang tidak mungkin ke sekolahmu, Hajoon. Dia orang yang sibuk. Dia orang penting."

"Lebih penting dari kita, ya?"

Helaan napas terdengar jelas dari Seonmi. Perempuan itu lalu menghampiri Hajoon dengan seutas senyum. Merapikan kerah seragam yang berantakan, lalu menyisir rambut Hajoon perlahan. Hajoon terus memusatkan pandangannya pada wajah sang ibu yang terlihat santai.

"Bukankah kita sudah membicarakan ini?"
Hajoon terdiam.

"Bukankah Hajoon sendiri yang bilang kita bisa hidup bahagia tanpa ayah? Kalau begitu, buktikan pada semua orang bahwa kita bisa melewati ini bersama. Jika bertemu dengannya, katakan bahwa kita sudah bahagia."

"Mengerti, Bu. Hajoon akan berusaha."

"Kemudian ... kapan pun kau merasa lelah, katakanlah pada ibu. Ibu akan selalu siap mendengarkan."

Hajoon menunduk lesu sementara Seonmi memasukkan kotak bekalnya ke dalam ransel. Sesekali perempuan itu melirik Hajoon melalui ekor mata. Bagian kecil dalam hatinya terasa sedikit teriris mendapati raut wajah Hajoon yang tampak sedih dan tidak bersemangat. Oh tidak, jangan lagi! Sudah banyak air mata dan keringat yang Seonmi keluarkan untuk mengukir senyuman indah di wajah Hajoon.

"Ibu bawakan kau panekuk kentang dan yogurt." Hajoon mendongak dengan manik mata berbinar.

"Sungguh?"

"Tentu saja. Ibu terus mengingatmu saat membuatnya." Hajoon terkekeh kecil.

"Terimakasih."

Seonmi merentangkan tangan, memberi isyarat pada Hajoon melalui gerakan mata untuk melakukan pelukan hangat. Hajoon pun berhambur ke dalamnya. Bocah itu mengulum senyum sembari memejamkan netranya. Menikmati detik demi detik yang menenangkan bersama sang ibu.

"Terimakasih juga, sudah bertahan bersama ibu."

Bocah itu berangkat ke sekolah menaiki sepeda. Hajoon akui kalau ibunya itu sangat pandai memilih rumah. Bukan hanya dari segi denah, kelayakan atau model. Rumah yang Seonmi pilih untuk dijadikan tempat naungan dari terik matahari dan guyuran hujan itu juga memiliki letak yang strategis. Dekat dengan pasaraya, sekolahan, dan juga taman bermain. Sangat memudahkan hidup mereka, sekaligus menghemat.

Hajoon jarang sekali meminta antar Seonmi ke sekolah kecuali saat ia merasa sedang terlambat. Pria kecil itu memilih untuk mengendarai sepeda untuk melatih otot kaki, katanya.

Pagi ini pun sama. Dengan semangat menggebu ia mengayuh pedal sepedanya menuju sekolah. Semacam kebiasaan. Sejak kecil Hajoon adalah sosok yang sangat mudah dibujuk rayu oleh Seonmi. Seolah tak terjadi apa pun, bocah itu tetap mengudarakan senyum saat disapa beberapa orang di sekitar.

Sampai pada akhirnya ia memberhantikan sepeda karena lampu merah. Hajoon menghela napas, lalu mengulum senyum tipis.

"Selamat pagi, Haseungja!" Hajoon celingukan. Mencari gerangan sapaan yang mengudarakan sebutannya.

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang