Bagian dua puluh dua

443 75 26
                                    

Selamat membaca 💜
.
.
.
.
.

"Wahhh ... itu adalah dongeng ... yang menegangkan, kau tahu?"

"Oh, astaga ayolah! Ini bukan hanya sekadar dongeng, Seonmi. Ini kisah nyata," rengek Namjoon seperti anak usia lima tahun yang kehilangan mainannya.

Seonmi memutar bola matanya malas. "Oke, kita anggap itu kisah nyata. Lalu jika itu kisah nyata, kenapa kau menceritakannya padaku?"

"Aku ingin kau bertemu dengannya," tandas Namjoon antusias.

"Tunggu, apa? Bertemu siapa?"

"Karena kisahmu dan dia hampir sama menyedihkannya," tukas Namjoon santai tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sejemang usai mencerna apa yang pria Song itu katakan, Seonmi langsung melirik tajam pada Namjoon yang tersenyum konyol.

"Jadi maksudmu, hidupku ... menyedihkan?" cetus Seonmi.

"Apa, tidak! Bukan itu." Namjoon sendiri terkejut. Benar-benar tidak memperhatikan apa yang keluar dari bilah bibirnya. Matanya melirik ke sana kemari mencari ide untuk mendinginkan Seonmi yang sudah kelihatan marah.

"Maksudku, iya, hidupmu ... tidak menyedihkan. Hanya saja, sedikit membuat orang sedih jika mendengarnya."

Seonmi mendelik kesal. Merasa seolah ia sedang dipandang rendah dan ditertawakan. Dengan wajah masam Seonmi memasukkan kembali kotak makannya ke dalam sebuah tas tahan panas, mengabaikan Namjoon yang bingung karena ulahnya sendiri.

Seonmi sendiri tidak tahu mengapa ia berlaku demikian. Pikirannya berkecamuk, suasana hatinya kian memburuk, dan Seonmi tiba-tiba merasa pusing. Ia ingin segera menyudahi kegiatan di luar rumahnya kali ini. Ingin kembali tidur seharian untuk memenangkan hatinya yang bergemuruh tidak jelas.

"Kau berteman denganku hanya karena kasihan, Dokter Song. Aku merasa tersinggung."

"Tunggu, Seonmi. Aku minta maaf, ya, Aku salah. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ...," ucap Namjoon penuh sesal. Pria itu sudah mencoba meraup tangan Seonmi untuk meminta maaf tapi perempuan itu semakin menghindarinya.

"Hanya ingin mengingatkan bahwa hidupku sangat menyedihkan?" Seonmi menyambung kalimat Namjoon dengan ketus.

"Aku pikir, dengan mengenalkanmu padanya kalian akan bisa saling berbagi cerita. Bukan aku tidak ingin menjadi teman bicaramu, tapi ... kurasa kau juga membutuhkan teman bicara seorang wanita."

Seonmi yang sudah berdiri memunggungi Namjoon terdiam. Menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Melemaskan otot-otot tangannya yang baru saja terkepal. Lantas ia membalikkan badan dan menyodorkan tas kotak makannya ke hadapan Namjoon yang tengah tertunduk.

Usai mendengarkan penjelasan dokter muda itu, Seonmi merasa ada sesuatu yang mengetuk hati. Kilas balik di mana ia juga seringkali menceritakan hal random pada pria itu dan bagaimana Namjoon tidak pernah mengeluh mendadak lintas, dan itu membuatnya berpikir ulang untuk meninggalkan Namjoon dengan amarah. Pria itu bermaksud baik. Jika ditelaah lebih lanjut apa yang dikatakannya juga benar. Meskipun Seonmi bisa menceritakan banyak hal pada pria itu, ia tetap saja masih harus membatasi diri untuk menceritakan privasi perempuan.

"Kau bilang, ingin ditemani membeli baju di pusat perbelanjaan. Mau sekarang atau nanti?" Namjoon mendongak. Senyum di wajahnya terbit semanis selai cokelat.

"Sekarang saja, sekarang," jawab Namjoon dengan antusiasme tinggi.

Mereka akhirnya berjalan berdampingan keluar dari kafetaria rumah sakit setelah Namjoon menaruh jas putih kebanggaan di ruang pribadinya. Pria itu tak berhenti menyunggingkan senyum malu-malu. Ia merasa lega, Seonmi memaafkannya.

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang