Bagian dua puluh lima

365 63 31
                                    

Selamat membaca💜
.
.
.
.
.

"Pergilah Jimin! Aku akan mengurus Namra."

Jimin berlari sekencang-kencangnya. Melewati Namra yang masih bersimpuh di jalanan depan kafetaria sembari memandangnya dengan tatapan penuh kekecewaan. Jimin menyusup di tengah kerumunan. Mata Jimin terbelalak lebar ketika mendapati Seonmi dengan tubuh tegang tengah memegangi perut buncitnya dengan darah segar yang mengalir deras di bawah. Dibantu beberapa orang Jimin akhirnya berhasil membawa Seonmi ke dalam mobil menuju rumah sakit terdekat.

Wajah Seonmi tak berona, pucat pasi, sama halnya dengan Hajoon yang bersimpuh di lantai mobil sembari memeluk sang ibu diiringi tangisan. Jimin panik bukan main. Menepuk-nepuk pipi Seonmi untuk memastikan perempuan itu tetap sadar. Seonmi tak henti menggeliat dan susah payah memegangi perutnya.

"Jiminhhh ... berjanjilah padaku, akh! Perutku sakit sekali hhh," pekik Seonmi rendah.

"Diam dulu, Seonmi! Simpan tenagamu, kau harus tetap sadar sampai dokter menanganimu!" Jimin berkata gusar seraya menyeka keringat deras di dahi Seonmi dengan usapan lembut.

"Tidak! Aku mungkin akan mati, rasanya sakit sekali, sakit."

"Jangan berbicara omong kosong dan diamlah!"

"Supir bajingan?! Cepatlah sedikit, ini sakit sekali! Kau akan membunuhku, brengsek!" umpat Seonmi tanpa mempedulikan keadaan.

Sesampainya di rumah sakit, selagi Seonmi di angkut menggunakan ranjang darurat Jimin tidak melepaskan genggaman tangan mereka sekali pun. Beruntung ia sempat menitipkan Hajoon pada perawat lain. Baju yang ia pakai menjadi compang-camping tak berbentuk, ketakutan di wajahnya kian jelas. Jimin gemetaran, sama seperti Seonmi. Kali pertama ia melihat dan menyentuh darah sebanyak ini dari seorang ibu yang akan melahirkan.

"Jimin, kau ... hhh ... harushh berjanji akan ... menjaga Hodu kita dan Hajoon bersamamu jika aku mati. Akh, sialan, brengsek! Sakit sekali," ujaran terakhir sebelum akhirnya tautan tangan mereka terlepas kala pihak medis mendorong ranjang tempat ia berbaring ke dalam ruang persalinan.

"Permisi, Tuan. Jika ingin menemani pasien, anda harus membersihkan diri terlebih dahulu."

Jimin sudah mencoba menghubungi Minseok berkali-kali, tapi tidak mendapatkan respon yang berarti. Ia kemudian berpaling menghubungi Mirae. Setelah beberapa panggilan, akhirnya sang ibu memberikan respon.

"Bagaimana bisa? Bukankah usia kandungannya bahkan belum genap selain bulan?" Mirae terdengar panik setelah mendengarkan penjelasan singkat Jimin. "Tunggu, aku akan ke sana dengan helikopter pribadi. Hubungi lagi Nyonya Minseok. Kalau perlu hubungi juga kelabnya misal nomornya masih tidak aktif."

Jimin sebenarnya sudah menjelaskan pada sang ibu bahwa ia sulit menghubungi Nyonya Minseok, tetapi ia masih ragu hendak menjelaskan detil rentetan kejadian tragis yang menimpa Seonmi.

"Ibu ...," panggil Jimin ragu.

"Iya? Ada apa?"

Setelah berhasil mengumpulkan seluruh tekad yang ia miliki, akhirnya Jimin angkat bicara. Jimin tahu bahwa sang ibu tidak mungkin langsung menghakiminya.

"Sebenarnya Seonmi mengalami pendarahan hebat di usia kandungan yang belum memumpuni disebabkan oleh aku sendiri .... Kejadiannya sangat panjang. Sejauh yang kutahu dari orang-orang sekitar. Seonmi terserempet sebuah mobil saat sedang mengejar Hajoon yang berlari ke tengah jalan raya dan ... Hajoon melakukan itu karena aku, Bu. Aku tidak tahu ia mendapatkan informasi dari mana, yang pasti, Hajoon tiba-tiba bertanya padaku kenapa ia tidak memiliki marga yang sama seperti aku--ayahnya."

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang