Selamat membaca💜
.
.
.
.
.Saat matahari setengah berhasrat turun ke peraduan, di remang langit, ia tinggalkan begitu banyak pesan, di antara rasa enggan dan sebuah keharusan. Seonmi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Malas sekali sebenarnya bertemu dengan apa saja mengenai masa lalu. Sudah satu jam berlalu dan masuk waktu senja. Namun Jimin tak kunjung datang. Apakah nomor yang ia masukkan salah? Seonmi rasa tidak. Bahkan panggilan yang ia buat tadi sempat terjawab meskipun ia tidak begitu yakin apa sang penerima telepon itu suara Jimin atau bukan.
Seonmi berdecak kesal. Pria itu membuatnya kecewa sejak dulu sampai sekarang. Jimin suka sekali meremehkan perasaan seseorang yang tulus padanya. Lalu dengan hati dongkol, Seonmi beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke kasir untuk melakukan pembayaran.
Ketika tangannya menyodorkan uang, sebuah tangan yang membawa kartu atm menurunkannya. Seonmi menoleh, mendapati sosok pria gondrong berkumis yang sedang meminta bukti pembelian Seonmi dari pihak kasir.
"Kau?"
"Terimakasih," ucap Jimin pada pemuda penjaga kasir usai mengambil kembali kartu miliknya. Kemudian Jimin meraup tangan Seonmi untuk diajak keluar kafe menuju mobil miliknya. Seonmi menepis tarikan Jimin dengan kasar. Ia berhenti di tengah jalan dan menatap Jimin dengan kilat amarah. Dia tidak akan membiarkan Jimin semena-mena lagi padanya.
"Berhenti seolah kau peduli padaku!"
"Kita tidak mungkin membicarakan masalah kita di sini, Seonmi. Ayo kita cari tempat yang lebih sepi."
"Kenapa? Supaya kau tidak dipandang buruk oleh orang-orang? Kau takut reputasimu jelek, huh?" ruah Seonmi diliputi amarah.
"Seonmi-ah ...."
"Kita masuk lagi ke dalam atau aku akan pulang."
"Baik, mari bicara di rumahmu."
Plak!
Seonmi bergerak spontan. Sejujurnya, perempuan ini kesal bukan karena apa yang Jimin katakan. Ya, itu termasuk salh salu alasan, tapi bukan itu poin utamanya. Entah mengapa Seonmi merasa sangat ingin melakukan itu. Menampar Jimin berkali-kali untuk menyalurkan rasa sakit yang sudah ia terima selama ini.
"Kau gila?" pekik Seonmi.
"Ya, aku gila karenamu."
Seonmi melirik sekitar. Mendadak merasa aneh manakala banyak pasang mata yang menatapnya penuh intimindasi. Oh, astaga. Baru bertemu setelah lima tahun dan Jimin sudah membuatnya merasa seperti wanita jahat. Berakhir mau tidak mau Seonmi berjalan kasar melewati Jimin dan menunggu pria itu untuk membukakan pintu mobil.
Jimin tahu situasi. Ia pun membuka pintu mobil dan mempersilahkan Seonmi masuk. Kemudian ia menyusul dan menjalankan mobilnya untuk membelah jalanan menuju rumah Seonmi.
"Jangan temui Hajoon lagi!"
Jimin mematikan mesin. Mereka belum turun dari mobil. Jimin menghadap Seonmi dengan tatapan sendu, penuh harap. Sudah ia coba meraup tangan Seonmi yanh sedingin es itu. Seonmi langsung menepisnya, tentu saja. Jimin cukup mengerti sebesar apa rasa sakit yang Seonmi alami karena tingkah konyolnya lima tahun lalu.
"Aku berhak menemuinya ... karena aku ayahnya," pungkas Jimin ragu.
"Kau tidak berhak! Kau hanya ayah biologisnya. Tidak lebih. Biarkan kami bahagia seperti sekarang, menjauhlah!" titah Seonmi parau.
"Jin Seonmi .... Aku tidak bermaksud meninggalkanmu saat itu. Aku menyesalinya sekarang."
Pandangan Seonmi memburam, lantas ia menengadah menatap langit dari balik kaca jendela. Ia pertahankan bulir asin itu supaya tidak luruh. Perempuan 32 tahun itu tak ingin terlihat lemah di depan Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)Forgotten Wedding [M]✅
Fanfic[Finish] Kang Jimin tidak pernah menyangka, mantan istri palsu yang ia nikahi empat tahun lalu itu tiba-tiba muncul di tengah pesta pertunangannya. Memporak-porandakan impian akan masa depan cerah yang telah ia rajut apik bersama sang kekasih tercin...