Bagian sebelas

457 84 20
                                    

Selamat membaca 💜
.
.
.
.
.

"Ada apa dengan semua pakaian balita ini? Ini terlihat mahal dan jumlahnya banyak. Apa kau akan menyumbang ke panti asuhan? Bukannya awal bulan ini sudah?"

"Bukan, Bu. Aku akan memberikannya kepada seseorang."

"Seseorang? Sebanyak ini? Bahkan kau tidak mengeluarkan uang sebanyak ini untuk kado pertunangan kakakmu."

"Sudahlah, Bu. Aku tidak membelinya dengan uang Ibu."

"Iya, Ibu tahu. Ibu sekadar penasaran. Eum, apa temanmu ada yang melahirkan?"

Pertengkaran kecil yang berakhir dengan canda tawa. Keluarga Kang Jimin memang se-harmonis itu, selagi tidak membahas si Nenek Han sangat mantan istri kakek dari pemimpin keluarga mereka itu, semua akan baik-baik saja. Semua sepakat untuk mengambil libur di hari Sabtu dan Minggu. Melepas semua tanggung jawab dari pekerjaan mereka masing-masing untuk sekadar piknik di halaman mansion atau berlibur ke luar negeri sehari semalam.

Keluarga yang benar-benar disiplin. Bahkan tentang makanan pun ada jadwalnya sendiri-sendiri pada hari yang berbeda. Kesempurnaan penampilan dan kehormatan sangat dijunjung tinggi di keluarga itu. Bahkan ketika Jimin memutuskan untuk membuat tato di bagian perut sebelah kanannya di usia dua puluh empat tahun, ia menerima kemurkaan sang kakek berminggu-minggu. Mulai dari pembekuan rekening bank sampai penyitaan semua kendaraan pribadinya. Jimin yang kala itu masih duduk dibangku kuliah, akhirnya balas merajuk hingga kabur ke apartemen Minwoo. Jimin itu pandai dan sedikit licik. Mustahil sang kakek akan mendiamkannya dalam jangka waktu yang lama mengingat Jimin adalah ahli waris satu-satunya keluarga besar Kang.

"Aku akan mengenalkannya pada ibu saat sempat, dia pria kecil yang manis dan menggemaskan. Aku yakin saat melihatnya, ibu akan meminta oppa untuk mempercepat pernikahannya dengan Namra eonni," terka Mina.

"Eung? Bagaimana bisa?"

"Saat melihat Hajoon, kupikir ibu ingin segera memiliki cucu sepertinya," seru Mina dengan antusias.

"Baiklah-baiklah ..., Ibu akan meminta pernikahan mereka untuk dipercepat. Sepertinya di sini ada yang tidak sabar untuk dipanggil dengan sebutan aunty," sindir Kang Mirae seraya memainkan alisnya menggoda sang anak.

"Benar! Aku ingin rumah ini ramai dengan anak-anak saat akhir pekan," sorak Mina. Lagi-lagi mereka tertawa renyah.

Seutas senyum bahagia tercipta pada wajah tegas penuh kerutan dari sosok pria tua yang saat ini sedang berdiri di ujung tangga. Kang Suhyeok mengurungkan niatnya untuk berbaur di antara menantu dan sang cucu. Tangannya merogoh ponsel untuk menghubungi seseorang. Memperhatikan kedua presensi kedua orang yang tampak beradu tawa di ruang keluarga mereka.

Membuat mansion ini penuh dengan anak-anak, kenapa tidak? Pria tua itu sama antusiasnya dengan Mina jika menyangkut pernikahan Jimin, satu-satunya cucu laki-laki yang akan melanjutkan bisnis keluarga Kang setelah Heedo-ayah Jimin.

"Selesaikan pembangunan rumah itu lebih cepat. Jika diperlukan, tambah beberapa pekerja lagi sebab pernikahan si pemilik rumah akan dipercepat."

"Apa Ayah melihat Jimin? Dia bilang sedang mengantarkan Namra belanja dan akan mengunjungi rumah mereka, tapi kenapa belum kembali sampai sekarang?"

Kang Suhyeok mengernyitkan dahi usai sang putra menyelesaikan kalimatnya, pria tua itu melihat ke arah jendela mansion mereka. Langit gelap dan hujan tampak turun dengan deras. Lantas matanya beralih pada jam warna perak yang melilit pergelangan tangan, pukul dua lebih lima belas menit.

(Un)Forgotten Wedding [M]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang