Part 1

553 6 0
                                    

Happy Reading

*
*

Remaja tanggung itu sibuk membuat kepulan asap dari bibirnya. Matanya menyorotkan kehampaan dengan tangan sesekali menyugar rambut hitam pekatnya. Tatapannya jatuh pada surat teguran yang didapatnya beberapa jam lalu. Membuat dirinya mendengus kasar.

"Chandra ... makan malam dulu, Nak. Oma udah masakin makanan kesukaan kamu," sahut suara dari luar.

"Bentar, Oma. Chandra ganti baju dulu," teriaknya menginjak rokok yang masih tersisa setengah.

Tak ingin membuat salah satu orang yang berarti dalam hidupnya menunggu. Lelaki itu bergegas meraih kaos yang tergantung pada pintu kamar mandi.

Suara sendal beradu dengan keramik membuat atensi penghuni di meja makan memandang ke arah Chandra. Tanpa berujar apapun, lelaki itu meraih kursi di samping kakeknya.

"Tadi opa di telpon lagi sama pihak sekolah. Katanya kamu tonjok teman sekolah kamu sampai dilarikan ke Rumah Sakit," ujar Sang Opa memandang lelah ke arah remaja itu.

"Ck, lemah," decaknya sengaja diperdengar.

"Makan dulu, ya. Oma masak ayam kecap kesukaan kamu."

Sebelum suasana semakin keruh, wanita berusia lanjut itu segera melerai. Ditakutkan kejadian seperti kemarin akan terulang kembali. Sang Oma hanya bisa berharap bahwa suami dan cucunya bisa akrab kembali seperti awal kedatangan remaja tanggung itu ke rumahnya.

Suasana di meja makan terasa mencekam. Dentingan sendok beradu dengan piring menambah hawa dingin. Setiap hari, makan malam seperti inilah yang mereka lewatkan. Walaupun tinggal serumah tak ayal membuat kehangatan di rumah itu menguar. Semakin hari remaja tanggung itu dibuat tak betah untuk sekedar menginjakkan kaki di rumah yang menjadi tempat bernaung Sang Ibu selama belasan tahun.

"Chandra udah selesai," ucapnya datar berlalu tanpa niatan menengok.

Sepasang suami istri berusia lanjut itu menatap punggung tegap cucunya dengan helaan napas pasrah. Entah harus dengan cara apalagi mereka membuat senyum Chandra kembali terukir. Mereka tahu bahwa semua itu tak lepas dari anak sulung mereka, selaku ibu kandung Chandra.

"Keras kepala seperti ibunya," gumam Opa mampu didengar Oma karena keheningan yang kian melanda.

"Sabar, Pa. Bagaimanapun juga Chandra masih anak kecil untuk semua masalah yang dia terima." Balasan Oma membuat Opa mengelus lembut tangan keriput istrinya.

***

Dia Chandrabha Anubhawa. Nama yang indah yang ibunya berikan, mempunyai seribu arti mengandung kebaikan. Tatapannya mengarah pada lampu kamar yang sengaja tak dinyalakan. Chandra begitu menyukai kegelapan semua tak terlepas dari trauma masa kecil yang enggan terkubur bersama jiwanya yang telah mati rasa.

Bosan dengan lamunannya, remaja tanggung itu mengambil jaket yang tersampir pada meja belajar berwarna hitam. Sebelum melangkah menuju undakan demi undakan tangga. Helaan napas lelah terdengar memenuhi keheningan rumah.

Kedua matanya menyorot malas kedua orang yang telah bersedia merawatnya, menggantikan tugas Sang Ibu. Sebelum berhasil meraih gagang pintu utama, suara dari pria lanjut usia itu terdengar. Sudah Chandra duga, sebelum pergi dirinya akan mendapat larangan-larangan yang selalu dilanggarnya.

"Mau ke mana lagi kamu?" tanya Sang Opa.

"Chandra pamit," ucapnya tak acuh membuka pintu utama.

"Harus berapa kali opa bilang Chandra ... tolong berubah. Kamu pikir dengan kamu bertindak semaunya, ibu kamu akan senang?!" bentaknya menjeda kalimat yang akan kembali dilapalkan.

L O S T (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang