Happy Reading
*
*Satu hal yang tidak pernah Chandra bayangkan akan terjadi. Siang ini dunianya terasa menyesakkan. Melihat dua orang yang menjadi sumber kesakitannya tengah mengobrol santai dengan Tuan dan Nyonya Danadyaksa.
Rasa sakit kian merambat memenuhi rongga hatinya, mendengar suara tawa mereka. Adakah yang lebih sakit dari takdir yang harus Chandra lalui. Mengapa setelah sekian lama, kedua orang itu muncul di hadapannya.
Liquid bening bersarang di pelupuk mata remaja tanggung itu. Dirinya rindu tapi kesakitan yang mereka berikan selalu menutup lubang empati Chandra, menghadirkan nestapa yang kian merambat melalui rongga hati. Menghapus jejak air matanya, Chandra memilih turun menuju dapur. Tenggorokannya kian tercekat kala netranya bersibobok dengan mata bulan sabit gadis itu.
"Chandra sini, Nak. Udah lama kita enggak kumpul bareng." Oma antusias, melihat kehadiran Chandra.
"Chandra bukan keluarga kalian." Chandra menunjuk pada sepasang ayah dan anak gadisnya.
"Chandra! Sini kamu!" titah Sang Opa, suaranya terdengar memenuhi rumah.
Chandra berdecih tak urung mengikuti perintah pria tua itu. Netranya menelisik menatap duplikat dirinya—dalam generasi berbeda. Ada rasa tidak sudi ketika wajah orang itu menurun kepadanya. Sial.
"Gue haus. Buruan ngomong," sahutnya santai. Orang yang berada di ruang tamu menatap Chandra lamat-lamat kecuali pandangan pria paruh baya itu—semakin menggelap terasa ingin mencabiknya hidup-hidup.
"Kurang ajar kamu, Chandra. Tidak pernah kamu diajarkan sopan santun?!"
Remaja tanggung itu semakin naik pitam. Tidak sadarkah pria itu jika dirinya sudah berlaku tidak adil. Lebih mementingkan perasaan gadis seusianya yang sedang menunduk takut tanpa memikirkan perasaan anak lainnya.
"Siapa yang ajarin Chandra sopan santun? Anda, Tuan Antasena? Atau anak kesayangan anda?" sarkasnya menyeringai penuh kesakitan.
Semuanya diam tak ada yang berani menyela. Dada kedua generasi itu memburu mencari pasokan oksigen. Sungguh hari ini bisa Chandra nobatkan sebagai hari kelabu dalam hidupnya. Bertemu lagi dengan dua orang itu tidak pernah masuk ke dalam agendanya.
"Chandra ayo duduk, demi oma." Sang Oma mengelus lengan Chandra. Memberikan sentuhan kasih sayang berharap cucunya mampu memperbanyak pasokan sabarnya.
Kejadian itu sudah lama sekali, tapi tidak ada di antara mereka yang ingin lebih dulu meleburkan emosi. Tidak Antasena—selaku ayahnya—ataupun Chandra—selaku anak kandungnya. Sekian tahun lamanya mereka bertemu, tidak ada yang berubah. Keduanya selalu meluapkan letupan berbalut belati siap menggores hati yang mendengarnya.
"Antasena, mama mohon kamu bisa lebih sabar menghadapi Chandra." Oma menjeda perkataannya. Beralih menatap Chandra. "Untuk kamu, Chandra. Tolong jangan selalu menyalahkan Ayah kamu. Coba kalian mengobrol dari hati ke hati. Oma capek tiap kalian bertemu ... kamu dan Ayah kamu selalu perang dingin begini," sambung Oma, lagi.
Nasihat Oma sedikit mampu meredakan amarah keduanya. Jujur saja Antasena malu dengan sikapnya menghadapi Chandra harus disaksikan oleh Sang Mertua.
Tidak pernah sekalipun Antasena lepas kontrol jika bukan Chandra orangnya. Bayangan tentang peristiwa kelam itu selalu berputar di memori otaknya. Harusnya di umur sekarang, Antasena menerima segala bentuk makian dari anaknya. Dirinya juga berperan besar terhadap pembangkangan yang Chandra lakukan.
"Sebelum oma mati, oma cuma ingin kalian berbaikan. Mungkin memang tidak seperti dulu lagi. Tapi paling tidak, jika kalian bertemu sudah tidak terjadi cekcok lagi," sambung Oma lagi mendapat tatapan nanar dari semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
L O S T (End)
Teen FictionChandra berbeda dari remaja kebanyakan. Lelaki itu memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan pelanggaran. Tak peduli sebanyak apa buku tata tertib itu tercoret tinta berwarna merah. Nyatanya bagi Chandra kehidupannya lebih pekat dari tinta mera...