Happy Reading
*
*Seraphina berlari kecil menuju kantin. Perempuan itu sudah membuat janji dengan Chandra untuk makan siang bersama. Tadi ketika mereka berjalan menuju kantin, nama gadis itu diumumkan, membuat Seraphina membalik langkahnya menuju ruang guru.
Senyumnya semakin terpatri melihat namanya masuk dalam daftar undangan PTN. Gadis itu diterima tanpa mengikuti tes dan menerima beasiswa jenjang S1. Tentu kabar itu membuat lengkungan bibir Seraphina semakin bertambah. Perjuangannya selama ini ternyata membuahkan hasil. Tidak sia-sia Seraphina mengorbankan waktu tidurnya.
Binar matanya kian berpendar menangkap Chandra yang mengobrol serius dengan Bian. Langkahnya semakin dipercepat, tidak sabar untuk membagikan kabar bahagia itu. Nyatanya semesta selalu mempunyai rencana. Perempuan itu harus menelan pil pahit mendengar obrolan Chandra dan temannya—tanpa lelaki itu sadari.
"Menurut lo, Si Cupu cantik enggak, sih?" tanya Bian.
"Biasa aja. Wajahnya kusam gitu," jawaban Chandra membuat Bian tergelak.
"Tapi lo nikmatin anjir waktu ciuman," timpal Bian.
Chandra membayangkan adegan ciumannya dengan Seraphina. Jujur bibir pucat itu terasa pas untuk dicecap. "Penasaran. Bibirnya juga manis," ucapnya mengambil air minum.
"Sebe—eh sini, Ser. Chandra udah nungguin lo dari tadi." Bian menggaruk tengkuknya. Tensin karena obrolan mereka terdengar langsung ke orangnya.
Sementara Chandra langsung menendang tulang kering Bian. Dijemputnya Seraphina yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka makan. Berharap semoga perempuan itu mau mendengar penjelasannya. Sudah dua kali Bian membuatnya hampir ketahuan. Sepertinya Chandra harus menyumpal mulut lelaki itu.
"Kamu mau makan apa. Nanti aku pesanin," sahut Chandra.
"Aku balik aja."
Gadis itu berbalik melepaskan tangan Chandra. Seraphina kecewa mendengar hinaan kekasihnya. Jika bukan Chandra orangnya, mungkin gadis itu tidak masalah. Tapi rasanya berbeda ketika lelaki itu yang berujar—hinaan terhadapnya. Seraphina merasa harga dirinya terkoyak. Chandra, satu-satunya orang yang menambah keberanian Seraphina, justru berakhir memandangnya sebatas—entahlah, Seraphina tidak menemukan kosakata yang tepat.
Diusapnya air mata itu dengan kasar. Berjalan tak tentu arah, guna mencari sesuatu yang mampu meredakan rasa sakitnya. Gadis itu berhenti menuju taman di pojok bangunan sekolah. Suasana sepi menambah laju tetesan air matanya.
Seraphina tahu—sangat tahu malah—jika fisiknya memang jauh dari kata sempurna. Kulitnya kusam akibat tidak pernah perawatan. Untuk makan saja, gadis itu harus mengirit. Itu saja keperluan primer harus terbagi lagi. Garis takdirnya memang memprihatinkan.
Derap kaki terdengar mendekati posisinya. Seraphina tak berniat menengok, malu dengan air mata yang terus merembes. Pundaknya dielus lembut semakin membuat lirihan kesedihan terdengar.
"Maafin aku, Ser," sahutnya. "Kamu boleh marah sama aku. Tapi jangan lama-lama. Aku takut kangen," sambung Chandra beralih mengelus punggung kekasihnya.
Kenapa jadi Seraphina yang disergap perasaan bersalah mendengar perkataan Chandra. Harusnya lelaki itu memang menyesalinya. Tidak. Ini tidak benar ketika wajah gadis itu berbalik menatap Chandra. Seraphina menggeleng, entah untuk opsi menerima atau tidak—penyesalan lelaki itu.
"Sayang ... maafin aku." Kelembutan itu begitu merdu memasuki indera pendengaran Seraphina.
Dalam kondisi sekarang respon tubuhnya bahkan selalu berlebihan ketika Chandra berada disekitarnya. Perkataan lelaki itu sungguh masuk dalam kategori celaan berat, tapi menjadi biasa saja ketika respon tubuhnya yang mendominasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
L O S T (End)
JugendliteraturChandra berbeda dari remaja kebanyakan. Lelaki itu memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan pelanggaran. Tak peduli sebanyak apa buku tata tertib itu tercoret tinta berwarna merah. Nyatanya bagi Chandra kehidupannya lebih pekat dari tinta mera...