Happy Reading
*
*Chandra masih tidak bisa menghilangkan kegelisahannya melihat Seraphina, walaupun gadis itu sedang larut dalam makanannya. Sesekali terdengar bunyi menyeruput, menandakan jika Seraphina dilanda tingkat kelaparan akut.
Awalnya Chandra menolak mendengar rengekan Seraphina, sesaat ketika gadis itu terbangun dari pingsan singkatnya. Perpaduan yang sukar jika mie ayam menjadi makanan pemula untuk orang yang baru sadarkan diri. Karena tidak tega melihat mata sayu itu berkaca-kaca, terpaksa Chandra menelpon Bian untuk membawakan pesanan gadisnya ke UKS.
"Pelan-pelan, Sera," tegur Chandra melihat Seraphina terbatuk kecil. Gadis itu mengangguk akibat mulut penuh berisi makanan. Sepertinya mie ayam akan terus menjadi makanan favorit Seraphina.
Remaja tanggung itu menelisik kondisi gadisnya. Sudah lebih baik dari sebelum mereka tiba ke UKS. Bekas tamparan dari adik kelas mereka sudah memudar, tapi masih menimbulkan ringisan ketika Chandra menyentuh pipi Seraphina.
"Masih sakit?" tanyanya lembut.
"Udah enggak terlalu kok," jawab Seraphina tersenyum hangat.
"Kita pulang aja, ya." Ajakan Chandra disambut anggukan pelan gadisnya.
Lelaki itu membantu Seraphina menuju parkiran. Gadis itu berjalan tertatih akibat bengkak pada pergelangan kakinya. Dorongan adik kelas mereka sungguh tidak bisa disepelekan. Terlebih tinggi badan Seraphina yang tidak seberapa. Wajar saja jika gadis itu kalah tarung.
Chandra tidak akan melupakan untuk membalas Ara—adik kelasnya. Walaupun Seraphina jauh dari kata idaman. Tetap saja Chandra tidak rela jika ada orang lain yang menyakiti targetnya. Ibarat kata, hanya Chandra yang boleh bermain-main dengan Seraphina. Gadis itu miliknya, sejak Chandra mengklaim Seraphina adalah subjek kesenangannya.
"Aku ambil tas dulu. Kamu tunggu sini. Jangan ke mana-mana!" titahnya sebelum berbalik menuju lantai tiga.
Kaki panjang Chandra melangkah secepat mungkin. Seolah takut meninggalkan Seraphina seorang diri. Tidak menutup kemungkinan gadis itu kembali mendapat perundungan dari Ara.
Senyum Chandra merekah begitu sampai di tempat berikutnya—kelas Seraphina. Piagam dan piala gadis itu menyembul dari dalam tas. Perasaan bersalah melingkupi rongga hatinya, menelusup masuk ketika terpaksa tidak menepati janji.
Setibanya di sekolah tadi, Chandra langsung menyusul Bian. Mengikuti lelaki itu membakar uang berupa sebatang rokok di sela dua jari, melupakan jika Seraphina pasti menunggu di auditorium.
Senyum lelaki itu berubah kecut melihat Seraphina memandang langit dengan tatapan sendu. Bibir perempuan itu merapalkan kalimat tanpa suara. Sementara kedua tangannya menengadah saling merapat.
"Mungkinkah Seraphina tengah berdoa?"
"Kamu ngapain?" tanya Chandra begitu sampai dihadapan Seraphina.
"Berdoa buat Ibu sama Ayah," lirihnya menatap Chandra.
Lelaki itu diam tak menanggapi. Ternyata kehidupan Seraphina tidak jauh berbeda dengannya. Kehilangan orang tua sama halnya mencabut paksa jiwa mereka. Chandra tahu bagaimana rasanya. Ibu lelaki itu memilih pergi saat usianya belum mengerti arti kehilangan. Beruntungnya Chandra masih memiliki satu penopang—ayahnya. Terlepas dari kelamnya tahun demi tahun perang dingin mereka.
Sebongkah batu menelusup rongga hatinya memaksa Chandra merasakan sakit oleh benda tak kasat mata itu. Perasaan tidak rela menghantui lelaki itu. Akankah Chandra sanggup menjalankan permainannya? Kenapa semakin dekat, justru perasaannya dibuat gamang?

KAMU SEDANG MEMBACA
L O S T (End)
Teen FictionChandra berbeda dari remaja kebanyakan. Lelaki itu memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan pelanggaran. Tak peduli sebanyak apa buku tata tertib itu tercoret tinta berwarna merah. Nyatanya bagi Chandra kehidupannya lebih pekat dari tinta mera...