Part 24

72 2 0
                                    

Happy Reading

*
*

Kepulangan Chandra disambut wajah masam gadis itu. Belum lagi mata bengkak dan wajah putihnya kian memerah. Sungguh Chandra ingin tertawa jika tidak melihat kedatangan Oma dari arah dapur.

"Abang ke mana aja? Chanda ditinggalin ndak pamit dulu. Pasti suka banget tuh jalan sama Kak Sera," cecar Chanda terdengar parau. Gadis itu masih kesusahan bersuara. Pasti cukup lama gadis manja itu menangis.

"Abang kenapa diam aja?" kesal Chanda melihat keterdiaman kembarannya.

"Kirain masih mau ngomel," timpal Chandra teramat santai.

Gadis itu langsung menghentakkan kaki memilih memeluk Oma. Menyembunyikan kepalanya di balik leher Sang Oma. Kekesalannya semakin bertambah ketika lelaki itu berlalu menuju kamar, terlebih Oma mereka tidak membelanya.

Perasaannya tercubit merasa tidak dihargai. Gadis itu berlari menyusul Chandra—tepatnya melaporkan kejadian itu kepada ayahnya. Chanda kesal—teramat kesal—melihat lelaki itu sudah duduk santai di balkon. Ternyata begini rasanya diacuhkan. Batinnya kembali berdrama.

Panggilannya diangkat. Terdengar suara Antasena—ayah mereka dari seberang sana. Tidak peduli jika Antasena sibuk bekerja. Satu yang pasti Chanda ingin mengadu.

"Ayah, Chanda mau pulang aja. Ndak mau di sini. Semuanya cuekin Chanda. Ndak ada yang sayang Chanda," tuturnya mengusap air mata yang kian merembes.

Deru napas Antasena terdengar lelah menghadapi drama-drama yang putrinya mainkan. Pria paruh baya itu sangat tahu bagaimana tabiat Chanda. Sisa hidupnya dihabiskan untuk mengurus remaja perempuan itu. Terlebih Antasena merupakan dalang dari sifat manja putrinya.

"Coba bicara yang jelas, biar Ayah tahu. Anak Ayah kenapa, lagi?"

"Abang lebih milih main sama pacarnya. Ninggalin Chanda sendirian waktu masih bobok. Terus Oma ndak belain Chanda. Se—semuanya ndak sayang Chanda," jedanya. "Chanda mau pulang, titik!" sambung Chandra dengan tangisan terdengar pilu.

Chandra yang bersantai menghisap nikotinnya hampir terjengkang mendengar suara tangisan dari dalam kamar. Sontak berdiri melihat penampakan Chanda tengah serius menelpon seseorang. Dari gelagatnya Chanda tengah bermain peran.

"Gawat!" Alarm di kepala Chandra berbunyi.

"Chanda kenapa?" tanya Chandra dibalas suara tangis yang kembali membahana. Chanda bahkan sudah menghamburkan tisu, mengelap cairan kental—bening—yang keluar dari hidungnya.

"Ayah, itu Abang. Marahin Abang, Ayah. Hati Chanda sakit." Chanda memegang dadanya. Sungguh menarik simpati bagi siapa saja yang melihatnya.

"Kasih Hp-nya ke Abang dulu," titah ayah mereka.

Chandra menerima ponsel yang Chanda sodorkan dengan kasar. Berbalik memunggungi saudara kembarnya, sebagai bentuk bahwa kemarahan masih berkobar pada dirinya. Tetapi telinganya menajam ingin menguping pembicaraan mereka. Hanya satu kata yang Chanda dengar berhasil lolos dari bibir saudaranya.

"Ish. Chanda juga pengen tahu!" batinnya kesal.

Chandra mengelus surai adiknya setelah meletakkan ponsel itu ke meja belajar. Lelaki itu mendudukkan kembarannya di tepi kasur. Lamat-lamat menatap Chanda sebelum membuka suara.

"Chanda marah sama abang?" pancingnya berharap Chanda mulai membuka suara.

"Pake nanya lagi," sembur gagis itu. "Abang ndak sayang Chanda. Oma juga ndak sayang Chanda. Kalo Opa ndak tau soalnya masih di kamar," lirihnya menahan tangis.

L O S T (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang