Happy Reading
*
*Remaja tanggung itu melirik arlojinya. Menghela napas lega menyadari masih ada waktu berkumpul bersama Bian. Tadi pagi Bian mengabari Chandra, mengeluhkan lelaki itu yang sudah jarang berkumpul. Jadilah sekarang, mereka—mengisap nikotin di basecamp—sepakat tidak ke sekolah.
"Sisa dua minggu lagi," celetuk Bian mengibas kepulan asap di wajahnya.
Chandra diam, malas melihat seringai Bian. Lelaki itu pasti tahu kegamangan hatinya. Chandra tidak perlu berkelit, perasaannya sudah bertalu pada Seraphina. Membayangkan gadis itu menangis membuat hatinya teriris.
"Mobil buat gue udah lo beli?" tanya Bian tanpa basa-basi.
"Kata lo masih ada dua minggu lagi," sinis Chandra.
Sekarang ini, bukan uang yang menjadi masalah lelaki itu. Kondisi hatinya lebih memprihatinkan. Dua minggu lagi misinya terlaksana. Menandakan hubungannya dengan Seraphina akan mencapai garis akhir. Nikotin seakan tak mampu menghalau kepalanya yang tiba-tiba pening.
"Gue harap lo enggak berubah pikiran, Bro."
"Lo kenal siapa gue," timpal Chandra merasa tersinggung.
Tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Masing-masing diam dengan pemikiran sendiri, yang membedakan hanya senyum Bian tak luntur sedari tadi. Berbeda dengan Chandra, sudah memijat pangkal hidungnya.
Lelaki itu salah memasuki kehidupan Seraphina. Chandra sangka, dirinya tidak mungkin luluh dengan gadis cupu itu. Terlebih fisik Seraphina sama sekali tidak menarik dipandang mata. Itulah sebabnya Chandra meneruskan kesenangannya—memilih Seraphina sebagai target.
Kegabutan remaja sepertinya memang keterlaluan. Tidak masuk akal untuk masyarakat golongan kelas bawah.
Lambat laun Chandra terkesima menyaksikan kerja keras Seraphina. Melihat bagaimana perjuangan gadis itu bertahan hidup di tengah kerasnya kota metropolitan. Menjadi tulang punggung untuk kedua adiknya. Chandra teramat kejam kepada gadis ringkih itu.
Siapa yang menyangka bahwa keangkuhannya berbalik menjerumuskan Chandra. Melupakan garis takdir yang telah semesta atur—kadang berubah sesuai kehendak-Nya.
Otak dan hatinya berperang. Satu di antaranya penasaran melihat tubuh ringkih itu merasakan pilu dan satu lagi menginginkan Chandra segera menghentikan aksinya. Berbalik mencintai gadis itu tanpa celah.
Tawa Bian membahana entah untuk alasan apa. Napas lelaki itu bahkan tersengal-sengal, kesulitan bernapas. Chandra menatapnya jengah. Satu yang pasti, dirinya sedang ditertawakan. Bian memang gambaran teman berengsek.
"Berisik!" ketus Chandra.
"Gue kasihan sama lo, Dra. Tapi masih enggak nyangka kalau lo udah jatuh hati sama Si Cupu," ucap Bian disela tawanya.
Chandra mendelik mengepalkan tangannya ke udara. "Ngomong sekali lagi. Biar gue ada alasan buat tonjok lo." Chandra berucap datar.
"Chill boy. Tapi seriusan, minimal lo udah suka 'kan sama Si Cupu?" Bian menanti jawaban Chandra. Menelisik wajah Chandra, menanti lelaki itu berucap.
"Gue bingung." Balasan Chandra terdengar ambigu. Bian mampu menangkap bahwa lelaki itu masih menyangkal perasaannya.
"Hp lo bunyi." Tunjuk Bian.
Chandra menjauh begitu melihat nama Si Penelpon. Dari seberang sana, terdengar suara rengekan. Lelaki itu menghela napas mendengar setiap rentetan kalimat kembarannya. Padahal beberapa jam lagi Chandra akan ke rumah Seraphina. Mengingat sekarang baskara tepat berada di puncak kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
L O S T (End)
Teen FictionChandra berbeda dari remaja kebanyakan. Lelaki itu memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan pelanggaran. Tak peduli sebanyak apa buku tata tertib itu tercoret tinta berwarna merah. Nyatanya bagi Chandra kehidupannya lebih pekat dari tinta mera...