Part 31

103 2 0
                                    

Happy Reading

*
*

Semilir angin menelusup melalui pintu balkon yang terbuka lebar. Sisa-sisa air hujan terlihat bergerumul pada tanaman budidaya di halaman belakang rumah. Hawa sejuk nan menusuk berhasil membuat bunyi gemelatuk di bibir remaja tanggung itu.

Chandra kembali menenggelamkan kepalanya ke dalam selimut peninggalan Melodi Renjana—ibunya. Ruangan yang berhasil menjadi tempat bernaung Chandra selama beberapa tahun ini tampak sunyi. Tidak ada lagi suara rengekan ketika lelaki itu mengacuhkan Si Gadis Manja—disebutnya Dia Chandana Arutala.

Beberapa hari lalu, sejak raungan kesakitan yang Chanda gaungkan tak lagi membuat Chandra berbalik menatapnya haru. Gadis manja itu memilih membentang jarak. Mengikuti uluran benang dari pria paruh baya yang berstatus ayah mereka. Tak segan Chanda langsung memasukkan semua barangnya ke koper tanpa mengabari Chandra.

Itulah mengapa sejak kemarin, Chandra kembali menempati kamarnya. Walau senyap menerpa tapi kekesalannya kerap kali menjelma bagai butiran garam dalam toples bening ketika mengingat keegoisan Chanda.

Toktok.

"Chandra, bangun. Kamu belum sarapan," teriak Oma entah bagaimana berhasil melewati undakan tangga yang berkelok.

Diambang batas kesadarannya lelaki itu menyampirkan selimut menuju kamar mandi. Tak menghiraukan jika Sang Oma masih berdiri—memijat pinggang yang terasa encok—di daun pintu.

Tangannya terulur memakai kaos hitam berlengan pendek. Menyugar rambutnya setelah membasuh tangan. Muka bantal di wajahnya berganti tampang segar ciplakan Antasena Bamantara—ayahnya.

"Loh, Oma masih di sini?" kagetnya melihat penampakan sang Oma.

"Oma kira kamu masih tidur. Om Egra ada di bawah," ucap Oma mendahului Chandra yang masih bergeming.

Firasat lelaki itu mendadak tak karuan. Tidak biasanya Oma memanggilnya sarapan. Terlebih kenapa bukan Om Egra yang membangunkannya—jika lelaki itu ada di rumah. Mana tega Om Egra membiarkan ibu tersayangnya melewati ranjau berupa tangga pencuat rasa nyeri.

Embusan napas kasar Chandra terdengar. Tak urung membuatnya mengikuti jejak Sang Oma. Kedatangan Chandra langsung dihadiahi tatapan dingin dari kepala keluarga—kakeknya. Sampai saat ini Sang Opa masih enggan berbicara kepadanya sejak tragadi di ruang keluarga Danadyaksa. Chandra juga tidak terlalu peduli, asalkan nyonya besar—Sang Oma—telah memberikannya kehangatan.

"Makan dulu. Ada hal penting yang mau om bicarakan," sahut Om Egra dengan pandangan sulit.

Semua makan dalam diam. Dentingan peralatan makan menjadi saksi jika sarapan kali ini berubah menjadi detik-detik vonis mati. Perandaian bersemayam dipikiran Chandra, sejak ucapan Om Egra terkesan dingin menembus tulangnya.

"Om tunggu di ruang keluarga," intrupsi Om Egra.

Tangannya terulur mengambil susu cokelat buatan Sang Oma. Rasa manisnya tak mampu merambat menghangatkan perasaan Chandra. Makanannya masih tersisa setengah, tapi nafsu makan Chandra mendadak merosot terganti kecemasan akut.

Ruang keluarga yang kata semua orang menjadi penghangat kala lelah karena seharian beraktivitas tak lagi terasa. Semua terlihat gersang, serupa hasil pembakaran hutan liar. Hanya saluran emosi yang keturunan Danadyaksa tunjukkna. Membuat Chandra memandang ruang keluarga menjadi momok mengerikan.

"Duduk," titah Om Egra menyambut pendengaran Chandra.

Remaja tanggung itu menurut. Memilih satu sofa di depan Om Egra. Memposisikan dirinya duduk tegap walau sandaran sofa meminta disentuh oleh punggung tegapnya.

L O S T (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang