Part 11

95 4 0
                                    

Happy Reading

*
*

Sebenarnya masih banyak waktu menyiapkan diri untuk berkunjung ke rumah lelaki itu. Tapi sesudah pulang dari bekerja, Seraphina tidak langsung beristirahat. Gadis itu sibuk membongkar pakaian yang sekiranya layak untuk diperlihatkan kepada kakek dan nenek Chandra.

Kali ini pilihannya jatuh kepada dress bermotif bunga lili. Dress peninggalan almarhumah ibunya. Teringat jelas, bagaimana jerih payah ibunya membelikan barang teramat bernilai itu. Almarhumah ibunya—berjualan di pasar hingga larut malam—sampai rela lembur. Menghadiahi Seraphina kado ulang tahun sewaktu dirinya berumur 14 tahun.

Air matanya menetes tanpa diminta. Gadis itu teramat merindukan sosok yang telah melahirkannya. Seraphina mendekap dress itu, seakan tiada hari esok untuk melakukannya.

Gadis itu bahkan sampai rela meminjam setrika dari bosnya. Dirinya tersenyum geli menyadari betapa besar usahanya untuk disambut baik—walau sebatas teman—oleh keluarga Chandra.

"Semoga semuanya berjalan baik," gumamnya menuju tempat peristirahatan.

Berbeda halnya dengan Seraphina. Malam ini Chandra masih menikmati penyaluran emosinya. Setelah berhasil membuat pipi Bian memar, lelaki itu kembali melampiaskan sebagian emosinya ke samsak tinju.

Sesekali pandangannya mengarah ke Bian. Temannya meringis ketika benda dingin menekan pelan rahang pipinya. Chandra menyeringai menatap remeh ke arah Bian. Dibalas tatapan mendelik temannya.

"Apa lo?!" sungut Bian.

"Mau lagi?" ejek Chandra.

"Enak aja lo." Bian menggeleng. Enak saja jika Chandra ketagihan membuat tanda di wajahnya. Walau satu pukulan tapi rasanya tidak main-main. Sepertinya Bian harus lebih berhati-hati membuat Chandra emosi.

Chandra berjalan menghampiri lelaki itu. Hawa panas menjalar di sekujur tubuhnya. Sontak saja tangannya mengambil botol air minum—menegaknya hingga tandas—memang tersedia di basecamp.

"Lo tega banget, Dra. Muka gue jadi jelek anjing," kesal Bian menaruh alat kompres di meja.

"Masalah?" balas Chandra tanpa beban.

"Kalo kata gue, efek Si Cupu udah parah bener sih. Lihat aja lo sekarang, makin enggak waras," decak Bian.

Bian kembali membahas Seraphina. Lelaki itu seakan tidak takut membuat amarah Chandra kembali mencuat. Sudah Bian bilang bukan, dirinya hanya akan berhati-hati. Tidak akan berhenti.

Dasar keras kepala!

"Pipi kiri lo masih mulus, Yan," sarkas Chandra.

"Dih, baperan," cibir Bian.

Chandra tak menimpali cibiran itu. Dirinya memilih bersandar pada sofa. Memejamkan mata yang terasa berat untuk dibuka. Pikirannya berkelana kepada perempuan itu. Jujur saja setiap kali menatap tingkah malu-malu Seraphina, Chandra bersusah payah menahan senyumnya.

Untuk saat ini, memang Chandra belum merasakan debaran. Respon tubuhnya masih menolak kehadiran Seraphina. Terlepas dari apa tujuan tidak mendasar Chandra sebenarnya.

Tadi ketika mereka berangkat dan pulang sekolah bersama, beberapa kali Seraphina menyemburkan semburat merah di kedua pipinya—dilihatnya dari kaca spion—mendengar gombalan Chandra.

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" pertanyaan Bian mengumpulkan kesadaran Chandra.

"Gue balik," pamitnya tak menghiraukan tanda tanya sudah tercetak jelas pada kening Bian.

L O S T (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang