Happy Reading
*
*Seminggu sejak pertengkaran hebat Chandra dengan gadis manja itu. Keduanya tidak saling bertegur sapa. Lelaki itu sebenarnya malas beralama-lama di kamar, jika Chanda membuka matanya. Sekedar melirik kembarannya, Chandra terlampau jengah.
Kehidupan liarnya kembali. Lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bian di basecamp. Sesekali mengunjungi Seraphina, jika gadis itu tidak sedang bekerja. Sebenarnya Chandra ingin bersama lebih lama, tapi sudah mendapat ancaman dari jauh-jauh hari. Beralasan jika kebersamaan mereka membuat kinerja jantungnya memompa dari semestinya. Sial.
Remaja tanggung itu tidak menceritakan masalahnya. Memilih memendam perasaan dongkolnya sendiri. Chandra merasa ditelanjangi setiap kehidupan masa lalunya diulik. Terlebih lelaki itu tidak menyukai tatapan kasihan dari lawan bicaranya. Terlihat tak berdaya tentu bukan luaran lelaki itu.
Seperti hari ini, Chandra melengos masuk tanpa memedulikan tatapan nestapa Chanda. Menganggap kembarannya itu tidak ada lebih memudahkan daripada harus menyapa satu dua kata. Chandra benci desiran kesakitan tiap kali tatapan keduanya bertemu. Ikatan batin mereka teramat menyiksa lelaki itu. Rasanya sakit, seperti ada duri yang menusuk-nusuk hatinya.
"Abang...," lirih Chanda.
Entah sudah berapa panggilan yang gadis manja itu layangkan, tak satu pun tersahuti. Sang Empu mendadak tuli setiap telinganya mendengar suara parau Chanda. Memang parau—tidak terhitung berapa liter air yang sudah menampung air mata itu.
Seingat Chandra, saudara kembarnya sudah dipaksa pulang mengikuti ayah mereka. Dasarnya memang keras kepala, tentu dengan tangisannya mampu membuat setiap orang empati. Pikiran lelaki itu berkecamuk.
"Abang mau sampai kapan ndak teguran sama Chanda. Rasanya sakit, Abang..."
Demi Tuhan. Hampir saja lelaki itu meloloskan lelehan bening mendengar suara berjarak dekat di belakangnya. Saat ini memang Chandra tengah mengambil beberapa pakaian ganti. Niatnya ingin menginap di basecamp—lagi. Bisa juga rumah gadisnya jika Chandra siap menampung omelan Seraphina. Tetapi dirinya lebih tidak ingin lepas kendali membentak Seraphina dengan masalah yang menimpanya. Terbilang dewasa untuk lelaki seusianya.
Chandra hanya melirik sekilas pada pergelangan tangannya yang ditahan. Mengembuskan napas gusar, lelaki itu menghempas tangan kembarannya. Merafalkan kata maaf dalam hati. Chandra juga merasakan sakit, seperti tersengat aliran yang tidak memiliki nama.
Teriakan Chanda tidak menyurutkan langkah lelaki itu meraih pintu utama. Bahkan dengan pergerakan gesit Chandra telah menyusuri jalanan membabi buta. Rambu lalu lintas tidak pernah lelaki itu hiraukan. Nyawa menjadi angka kesekian dalam dirinya.
"Buset, Dra. Sayang nyawa sih kalo kata gue," ucap Bian melihat Chandra memasuki pekarangan basecamp.
"Bacot lo."
Bian tak mengambil hati umpatan Chandra. "Nginap lagi?" tanya Bian lebih penasaran dengan ransel Chandra yang membumbung. Lelaki itu hanya mengedikkan bahu. Malas menjawab pertanyaan Bian.
"Emang ada masalah apa sih, di rumah lo?" Sampai saat ini Bian tak kunjung bisa meredakan rasa penasarannya.
"Ingat batasan, Yan. Lo tau gue kayak gimana." Chandra menepuk pundak Bian sekali. Berlalu meninggalkan sejuta tanya di kepala temannya.
Lelaki itu segera mengistirahatkan tubuh—pikiran lebih tepatnya—setelah menyapa beberapa orang di sofa. Tangannya terulur memegang dada, mengusapnya sebentar. Rasanya masih sakit saat kilasan beberapa saat lalu terputar. Hatinya seolah berperang memenangkan egonya atau Chanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
L O S T (End)
Teen FictionChandra berbeda dari remaja kebanyakan. Lelaki itu memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan pelanggaran. Tak peduli sebanyak apa buku tata tertib itu tercoret tinta berwarna merah. Nyatanya bagi Chandra kehidupannya lebih pekat dari tinta mera...