29. Cemburu

42.2K 4.7K 56
                                    

SIBUK!

Satu kata yang menggambarkan situasi sekarang ini. Tak hanya 2 waktu istirahat yang nyaris tersita sempurna, namun sepulang sekolah pun Jeya tak langsung bisa bernapas lega. Ia kembali datang ke ruang OSIS melanjutkan membuat hiasan-hiasan panggung yang memang materialnya baru datang tadi pagi itu.

"Je ini potongannya gimana? Diserongin aja?" Divia yang mengganti roknya dengan celana training dan rambut digulung dengan tusukan pulpen sebagai penyangganya.

"Iya serongin aja, buat 3 ya, Div."

"Kalo ini bagusnya yang kuning apa oren Kak Je?" Jola mengacungkan sebuah papan yang sudah separuhnya diwarnai. Warna yang berbeda juga mengotori tangan dan wajahnya.

"Kuning aja biar lebih soft."

"Je, ini yang udah jadi gue kumpulin di kardus yang pendek ya." Amara memeluk berbagai bentuk bunga lalu berjalan ke arah pojok.

"Iya, di sana aja, Ra."

Sesuai dengan yang pernah Reza katakan waktu itu dan dia benar-benar mendisiplinkan anak buahnya dengan baik, Jeya tak terlalu banyak bertindak. Bukan karena benar-benar tak mau, Jeya mampu, namun semua kesempatan dan waktunya habis untuk menjawab pertanyaan anak-anak lain yang mengeksekusi proses pengerjaannya.

"Si Galih mana anjir, beli rujak aja lamanya kebangetan, butuh di-charge nih tubuh gue." Divia yang sudah selesai memotong itu berbaring ke lantai, mengambil waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

"Mungkin yang di depan udah nggak ada, dia pasti nyari dulu. Lagian kalian udah kayak yang ngidam aja beli rujak," Amara mendekat, mengambil bunga-bunga lagi lalu memasukkan ke dalam kardus.

"Lo bilang gitu karena lo anti pedas. Rujak itu solusi terbaik di kala tubuh kita diforsir kayak gini." Divia merentangkan tangannya dengan wajah yang berekspresi ngiler.

"Tuh Kak Galih dateng. Udah yuk semuanya-semuanya istirahat dulu. Simpen-simpen!"

Sesuai komando Jola, mereka semua meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka. Berpindah ke sisi ruangan yang kosong lalu mulai memburu bawaan Galih yang sudah seperti kurir catering.

"Punya gue yang mana, Lih?" tanya Amara seraya membuka-buka kresek.

"Cari sendiri, gue mau ngasih punya Sica sama Ganesh dulu." Karena tak seperti yang lain, Ganesh dan Sica hanya menitip air mineral dan roti. Bahkan mereka menjadi dua orang yang tetap stay di kursi dengan laptop masing-masing.

"Eh, Je ini enak banget nggak sih?" ucap Divia yang sudah mulai memakan rujaknya. Matanya terlihat berbinar. Raut lelah tadi seolah hilang seketika.

"Eh bener enak, ini kayaknya emang bukan dari depan, soalnya dulu pernah beli tapi rasanya nggak kayak gini." Jeya tersenyum menikmati cita rasa yang memanjakan di dalam mulutnya.

"Siapa dulu dong yang belinya, Galih." Galih kembali kemudian duduk bergabung dengan mereka.

"Galih belinya di mana?" tanya Jeya.

"Di deket lampu merah."

"Ih itu mah jauh banget."

"Demi Jeya apa sih yang enggak."

"Huuuu!!!"
Bukannya diapresiasi, pengorbanan Galih itu justru disoraki yang lainnya.

"Buaya lagi nyepik-nyepik anjir!"

"Kak Galih tolong ya, keganjenanya dijaga."

"Lih basi sumpah, geli gue dengernya."

Galih menghela napas. Karena tak satu pun kalimat positif yang ditujukan padanya. Padahal dia sudah mencari pesanan mereka jauh-jauh. "Kalian kenapa sih benci banget gue berusaha. Apa salahnya gue berjuang? Bukannya didukung, malah dijatuhin."

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang