30. Sinyal

38.2K 4.3K 31
                                    

Jeya terbangun begitu kepalanya menunduk terlalu dalam hingga hampir saja dirinya terjatuh. Jeya menyingkirkan rambut-rambut di wajahnya sebelum menatap sekeliling dengan pandangan kabur sementara mulut menguap.

Bisa-bisanya dia ketiduran di sini. Padahal tadi dia bilang mau menunggui Mama Ferdi. Namun ya, tubuhnya memang terasa lelah. Akhir-akhir ini tidur siangnya nyaris tak ia lakukan lagi. Malamnya Jeya harus bergadang membuat pesanan.

"Loh, punya siapa?"

Jeya menatap kantong kresek di bangku sampingnya. Ia bahkan tak sadar bahwa tadi ada orang yang datang ke sini. Rista 'kah? Soalnya ada susu rasa stroberi yang diberi sticky note atas nama dirinya. Mungkin dia sedikit merasa pilih kasih karena pergi makan dengan Ferdi. Padahal Jeya tak masalah. Jeya tak akan menilai Rista berat sebelah karena itu.

Jeya pun mengambil susu itu kemudian meminumnya tanpa ragu. Seandainya ini bukan dari Rista dan ada racunnya, Jeya juga tak perlu risau karena ini di rumah sakit. Pikiran ngaconya.
Memang ya kalau habis tidur otak suka melantur tak jelas.

"Eh, Ta, Fer, udah makannya?" sapa Jeya begitu melihat dua orang itu berjalan mendekat. Rista masih membawa jinjingan. Dengan makanan sebanyak itu tentunya tak akan habis berdua.

"Kita lama nggak, Je?"

Jeya menyengir, lama atau tidak Jeya tidak tahu karena tertidur. Tapi demi kedamaian Jeya tak mau mengakui itu. "Enggak kok."

Rista mengangguk. "Gue ke toilet dulu ya."

Cewek itu melenggang pergi. Sementara Ferdi mulai duduk dengan selisih satu bangku dari Jeya. Sempat terjadi hening juga aura canggung yang menguar, hingga cowok itu mulai membuka percakapan.

"Gue minta maaf ya, Je." Ferdi menunduk kecil dengan kedua jemari yang ditakutkan.

"Maaf?

Ferdi hanya bergumam dalam hati. Soal kata-kata kasarnya yang dia ucapkan ketika berantem dengan Ganesh waktu itu. Meskipun Jeya tidak tahu, tapi Ferdi merasa bersalah sudah seperti itu. Setelah kepalanya dingin dan berpikir perlahan beberapa hari ini, Ferdi menemui hasil bahwa dirinya sudah keterlaluan.

Yang tak Ferdi tahu, bahwa Jeya menyaksikan kejadian itu. Hanya saja karena Jeya tak menganggap itu kesalahan Ferdi, Jeya melupakannya. Maka dari itu sekarang Jeya bertanya-tanya untuk apa cowok itu meminta maaf.

"Gue salah sama lo. Kalo selama ini gue nyakitin lo, gue bener-bener minta maaf, Je."

Jeya menatap Ferdi. Cowok itu kelihatan lebih kurus. Apalagi sekitaran matanya yang terlihat lelah. Menunggui Mamanya yang sakit pasti membuat cowok itu lupa untuk mengistirahatkan dirinya sendiri. Jeya jadi merasa kasihan.

"Enggak kok, justru gue yang minta maaf. Kalo selama ini gue bikin lo kesel."

Karena kebodohan Jeya, Ferdi harus melakukan hal lain yang semakin mengurangi waktu untuk dirinya sendiri. Duh Jeya ya! Ingin rasanya ia menyentil dirinya sendiri.

"Itu sih emang iya."

Jeya melotot. Apa dia selama ini sudah sekejam itu hingga Ferdi pun tidak sungkan mengatakannya?

"Bercanda." Ferdi tertawa.

Jeya menghela napas. Seandainya tadi serius, Jeya benar-benar tak tahu bagaimana menebusnya.

"Jadi intinya kita saling bebasin satu sama lain?"

Jeya tersenyum sebagai bentuk persetujuan.

Ferdi merentangkan tangannya. Menempatkannya di atas sandaran bangku. Ia menghembuskan napas lega. Lega karena satu masalah kini terpecah juga.

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang