32. Kejutan Kecil

38.5K 4.6K 189
                                    

"Bebi, Mami nggak bakal celakain Bebi kok, jadi jangan goyang-goyang."

Jeya memutuskan pulang dengan mengambil jalan yang pernah Ganesh tunjukkan ketika Ferdi tiba-tiba menghilang itu. Bukan apa-apa, jalannya cukup lenggang hingga Jeya bisa bertaruh membawa Bebi di sana dengan keadaan dirinya yang seperti ini

Jeya sudah membawa Bebi sepelan mungkin, namun karena tangan kirinya sedari tadi sibuk mengelap air mata, laju Bebi sedikit bergetar.

"Kok nggak berhenti-berhenti sih."

Lengan jaket yang Jaya kenakan sudah basah, seperti dicuci saja. Namun, air mata Jeya seolah tak ada bosan-bosannya, keluar lagi dan lagi.

"Sakit...." Jeya mencurahkan isi hatinya meski tahu tak akan ada yang mendengarnya kini.

"Gue kenapa sih kayak gini?" Jeya menggigit bibirnya. Bingung, pusing, tidak mengerti. Jeya hanya merasakan jika dadanya sesak dan nyeri. Namun, bukan seperti kena asma atau terluka. Karena Jeya yakin dirinya sehat-sehat saja dan tidak terbentur apa pun.

Tapi kenapa seperti ini? Jeya tak tahan.
Perasaannya terus saja tak membaik, malah kian tak karuan saja.

Seorang berperawakan besar dengan jaket jeans legend-nya berdiri menghadang Bebi, tangannya mengintrupsi agar Jeya berhenti. Meskipun pandangan Jeya burem, ia masih punya hati untuk tidak menabrak orang itu.

"Karena lo udah lewat jalan ini sembarangan lo harus--loh neng, lo nangis?"

Mengucapkan kata 'nangis' pada orang  yang mencoba menahan tangisnya sama halnya dengan mencabut tali granat tanpa dilempar, meledak di sana juga.

"Huwa...." Jeya menangis dengan keras. Dari tadi dia berusaha untuk tidak menangis meski air mata tetap turun. Setidaknya dia tidak terisak dan mengerang.
Tapi karena preman di depannya, Jeya tak bisa menahannya lagi.

"Eh Neng, jangan nangis gue bahkan belum ngancem lo." Preman itu malah berubah panik. Bingung bercampur heran karena bertemu dengan anak SMA namun tiba-tiba nangis seperti anak TK.

"Huwa ... aaa ... aaa...."

Tangisan Jeya semakin kencang, dia bahkan memukul-mukuli dadanya. Mencoba menghilangkan sesak di sana meski hanya sia-sia.

"Neng anjir, gue cuma mau cari nafkah, kok lo over kayak gini sih."

Preman itu menggaruk kepala dengan raut bingung. Kepalanya tak berhenti menengok ke sana-ke mari untuk memastikan tak ada orang lain yang akan menyaksikan situasi ini . Meskipun dia belum ngapa-ngapain, kalau yang di depannya nangis separah ini, alamat ia langsung diseret ke penjara.

"Apaan sih? Berisik banget. Lo itu cuma malak kenapa malah orkes TK." Satu orang preman lainnya keluar dari bangunan yang tak jauh dari sana.

"ANJIR TEMENNYA BILLA!" Orang itu memekik dengan tubuh setengah meloncak begitu melihat siapa yang diincar temannya.

PLAK!

Preman itu menabok kepala si preman pertama. "Bego lo! Ngapain lo cari gara-gara sama temennya Billa!" ucapnya dengan nada suara yang sudah berubah panik.

"TEMENNYA BILLA? YANG BIKIN BILLA BALIK LAGI KARENA SI OJI SAMA SI TISNO GANGGU TEMENNYA?!"

PLAK!

Preman 2 menabok kepala preman 1 lagi. "Iya bego! Dan sekarang lo bikin dia nangis, lo cari mati hah?!"

Si Preman 1 menelan ludah dengan susah payah. Ia menatap Jeya baik-baik kemudian ingat dengan kumpulan beberapa hari lalu di mana bosnya, sangat-sangat menegaskan untuk tidak mencari gara-gara dengan cewek itu.

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang