46. Gagal

34.4K 4.2K 87
                                    

Keadaan sunyi karena waktu yang menginjak dini adalah hal yang wajar, tapi rasa tegang sampai tak sanggup beranjak, itu yang agak janggal.
Para panitia yang seharusnya sudah kembali ke rumah karena acara selesai dari satu jam lalu itu memilih berkumpul di depan area panggung. Duduk dalam tegang dengan sesekali menggigiti kuku jari cemas. Menampilkan pemandangan seperti; sekumpulan remaja yang seolah tengah menunggu waktu untuk dieksekusi.
Sebenarnya hanya anak cewek saja--karena mereka yang merencanakan dan melakukan, namun demi solidaritas anak cowok ikut menunggui meski sambil beberapa kali menyindir mengatai. Kurang ajar memang, tapi ya ada benarnya juga.

"Jeya nggak apa-apa 'kan?"

Divia bergumam kemudian menyembunyikan wajahnya di antara lutut. Mengingat seberapa marah Ganesh tadi, artinya yang mereka lakukan sudah sangat keterlaluan. Ia paham dengan konsep masalah ditilai besar-kecil bukan dari jenisnya, namun dari bagaimana kekuatan diri dalam menghadapinya.
Meski Ganesh juga sudah berkata Jeya aman berasamanya, mereka tetap tidak bisa tenang  sebelum bertemu langsung dengan Jeya.

"NGGAK BISA!" Jola tiba-tiba saja memekik, membuat mereka yang tengah merenung dengan pikiran kalut kaget dan menoleh ke arahnya.

"Apaan sih Jola?" Amara menatap lelah. Ada problema yang belum klimaks yang tengah mereka hadapi. Tak ada waktu untuk bermain seperti menanggapi Jola yang heboh membekap mulut dan melotot seolah melihat hantu.

"Kalian harus denger, aku baru baca dari google." Jola menatap teman-temannya dengan wajah yang mulai horor meyakinkan untuk didengar.

"Di sini tertulis kalo pernah ada kasus soal ngerjain pas ultah," sambungnya, membuat yang lain tertarik menyimak karena bersinggungan dengan yang tengah mereka alami.

"Jadi satu kelas termasuk gurunya ngerjain satu orang yang mau ultah. Mereka ngumpulin semua hp dan dimasukkin ke tas si yang ultah." Jola menjeda ceritanya dengan mengambil napas dalam.

"Mereka nuding si ultah itu nyuri. Dia nangis, bilang kalo dia ngelakuin itu. Dia juga lapor ke gurunya, cuma karena gurunya juga udah di-briefing, jadi dia tetap disebut pencuri. Dia nangis parah, dan ketika mereka bawa kue, jelasin kalo yang tadi itu cuma bercanda doang, si anak ini tetep nggak berhenti nangis."

Jola menatap satu-satu wajah di sana yang sudah mulai tegang.

"Dijelasin kayak gimana pun, anak itu tetep nangis, dan akhirnya..." Jola menelan ludah dengan susah. "Ini kisah nyata ya," jedanya dulu sebelum yang lain beranggapan bahwa dia hanya menakut-nakuti.

"Anak itu dibawa ke rumah sakit jiwa," Jola berucap cepat dengan mata yang terpejam.

"AAA!!!" Yang lain refleks menjerit. Suasana pun semakin kacau, bahkan sudah ada yang sampai menggigil panik.

"Gimana dong, Jeya nggak bakal jadi kayak gitu 'kan?"

"Siapa sih yang ngusulin pake drama dulu, sekarang udah kayak gini gimana!"

"Tadi sih kata-katanya kasar banget."

"Heh, kita semua 'kan juga berkontribusi jangan jangan pada nyalahin, kita semua salah."

"Harusnya gue nggak ikutan. Sekarang ini kita harus gimana?"

Dan kumpulan yang tadi hanya membisu dalam ketegangan pun sekarang berisik penuh kepanikan.

Sementara di sisi lain Reza yang sedari tadi mengamati kumpulan itu menggeleng-geleng  seraya menghela napas.

"Nggak ada kerjaan sih, gali kubur buat diri sendiri, " gumamnya.

"Heh, berhenti ribut, Jeya udah dateng tuh," Reza menunjuk dengan dagu dua orang yang tengah berjalan ke arah mereka.

"JEYAAA...." seru mereka kompak.

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang