8. Mau Apa?

46.8K 5.8K 296
                                    

Pelajaran olahraga setelah jam istirahat itu sama artinya dengan suka rela menggosongkan kulit di bawah terik matahari. Keringat keluar dua kali lebih banyak. Dari gerakan olahraganya, juga panas cuaca. Dijamin, penampilan jadi lepek dan bau, tak ada bagus-bagusnya.
Jadi, olahraga di siang hari adalah gerakan satu langkah untuk terlihat tidak menarik.

"Gue minuman yang rasa jeruk ya," seru Jeya pada Rista yang berjalan pada lemari pendingin di kantin. Dirinya lebih dulu menjatuhkan diri pada salah satu kursi dengan tangan yang mengipas-ngipasi wajahnya yang memerah. Benar-benar penyiksaan. Untungnya Jeya agak menyukai pelajaran olahraga dan gurunya masuk ke dalam daftar favorit Jeya. Setidaknya dia tak merasa segondok ketika pelajaran Kimia-Fisika, sudah susah dimengerti, gurunya galak pula.

"Aah ... seger rasanya." Rista menaruh pesanan Jeya juga minumannya yang langsung tandas setengahnya.

"Nyiksa banget nggak sih olahraga jam segini. Belum lagi setelahnya pelajaran Bu Sella."

Rista mencubit-cubit bagian depan kaosnya untuk menciptakan angin, penyegar untuk tubuhnya.

Jeya mangut-mangut menyetujui. Guru yang terkenal akan kenyinyirannya itu memang sedikit meribetkan. Di awal-awal semester semua anak kena damprat. "Kalian olahraga itu di sebelum istirahat kedua, meski nggak lama, masa nggak sempet sih buat mandi dulu. Ini kelas apa kandang kambing."
Setelahnya mandi pun menjadi hal wajib yang harus dilakukan Jeya dan teman-teman setelah jam olahraga.

Pada dasarnya istirahat kedua itu untuk sholat, waktunya tak terlalu lama. Terbayang 'kan bagaimana panjang antrian serta harus seberapa gesit mandi?

"Nggak punya empati sumpah Bu Sella. Dia tau nggak sih rasanya abis panas-panasan langsung disiram. Bukannya seger malah jadi puyeng gue."

Jeya lagi-lagi mengangguk, kali ini karena mulutnya sedang berfungsi menyalurkan cairan menyegarkan pada tubuhnya itu.

"Aah...." Jeya mengeluarkan suara leganya. Ia menaruh botol minuman kembali pada meja kemudian menatap Rista. Tangannya bertaut seolah memang ada sesuatu penting yang harus dirinya tanyakan.

"Ta, gue boleh nanya nggak?"

Rista menggerakkan dagu. "Ngapain izin dulu? Lo mau nanya soal pelakor lagi?" kalimatnya sinis, namun tentunya Jeya sudah tahu Rista tak bermaksud menyakiti.

"Bukan." Jeya menggeleng. "Tapi masih ada hubungannya."

Rista mengernyit beberapa saat namun kemudian menggeleng. "Iyalah terserah, kepala gue lagi panas. Sok, lo mau nanya apa?"

"Perhatian itu apa?" tanya Jeya yang masih terngiang-ngiang ucapan si adik kelas tadi.

"Oh jadi ini tentang Pelakor yang ngasih perhatian."

"Ih bukan tentang pelakor gue bilang."

"Ya katanya ada hubungannya?"

"Jawab aja, Ta."

"Eumm...." Rista menyimpan jarinya di dagu, wajahnya begitu menjelaskan bahwa ia tengah merangkai kata untuk dijadikan jawaban.

"Perhatian itu kaya dia yang peduli banget soal diri lo. Misal kayak nanyain lo udah makan atau belum, lo udah ngerjain tugas apa belum, lo udah mandi, atau ngasih sapaan selamat pagi semoga indah menjalani hari ... ya pokoknya yang kayak-kayak gitu deh," jelas Rista yang kini menatap Jeya yang memasang ekspresi khidmat. Jeya tuh ya, meskipun nggak cepat tanggap, dia itu punya good attitude sebagai pendengar.

"Jadi, orang perhatian itu yang nanya sudah makan belum? Udah mandi belum? Met pagi, met siang...."

Rista mengangguk, namun Jeya masih saja termenung dengan isi pikiran mandirinya.

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang