40. Pengganggu

39.7K 4.4K 87
                                    

Seminggu berlalu, Jeya nyaris tak mengenal apa itu waktu leha-leha. Dia bahkan sudah tidak tertemu dengan Rista selain saat pembelajaran di kelas. Waktu istirahat pertama, kedua, pulang sekolah, Jeya bahkan mulai menganggap dirinya belahan jiwa dari ruang OSIS, saking seringnya dia berada di sana.

Semakin dekat hari H, semakin banyak tenaga yang dipakai. Malam ini puncaknya. Semua panitia disibukan terutama bagian dekorasi. Selepas bel pulang semua langsung bergerak ke lapangan.
Secara teknis ini tugas panitia dekorasi, namun semuanya ikut bahu-membahu membantu. Meskipun lelah, Jeya menyukai kekompakannya.

"Je, gue coba nyalain ya?!" Galih dari arah belakang panggung itu berteriak.

Jeya yang berada di atas tangga dan selesai memasangkan lampu terakhir itu mengacungkan jempol.

Galih menyalakan saklarnya, lalu kemudian tempat yang semula hanya mendapat bias cahaya dari koridor kelas dan ponsel masing-masing itu seketika terang.

"UWAAA...." Semua orang yang ada di sana seketika terpana sekaligus merasa puas.

Jeya tentu tak kalah puasnya ia tersenyum paling lebar, merasa bangga akan semua kerja keras yang mereka lakukan selama ini.

Jeya pun mulai menuruni tangga. Tangan kiri Ganesh terulur, yang langsung diterima Jeya.  Dengan berpegang pada sana, Jeya pun memilih meloncat dari tangga kedua.

"Bagus nggak?" tanya Jeya dengan wajah yang berseri-seri.

"Banget. Siapa dulu dong yang desainnya."

"Jeyana Trinity!" Jeya berseru seraya mengacungkan tangannya dengan semangat. Ganesh mengusap puncak kepala Jeya.

"Eh tangan kamu udah nggak papa?" tanya Jeya ketika melihat Ganesh sudah tidak memakai penyangganya lagi.

"Belum seratus persen sih, tapi udah lumayan." Ganesh menggerakkan tangan kanannya yang masih terlihat agak kaku. Jeya menatapnya dengan ekspresi sedikit ngerti. Entahlah meskipun bukan yang mengalami, Jeya malah sok-sokan dengan rasa sakitnya.

"Eh makan dulu yuk," ajak Ganesh ketika melihat. jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 9

Jeya melihat sekitar, keadaan di sini masih sibuk. Terutama di bagian panggung, setengahnya saja bahkan belum.

"Ini 'kan belum selesai."

"Nggak kok, kita nyicil, sebagian ada yang udah dari tadi. Jadi yang kebetulan rehat ambil makan, nanti gantian sama yang lainnya."

Jeya mengangguk-angguk mengerti. Setelah dipikir-pikir perutnya memang cukup meronta minta diisi. Mamanya juga tadi mewanti-wanti agar makan Jeya baik. Repot juga seandainya dia tumbang dalam kondisi seperti ini.

Ganesh meraih bahu Jeya lalu mulai pergi dari sana.

"Jadi setelah ini kita apa?"

"Kalau yang buat selesai dan ngerasa nggak bisa bantu yang lain, diutamain cewek, bisa langsung istirahat."

Malam ini semua panitia diwajibkan menginap. Karena dipastikan akan selesai larut, terlalu beresiko jika mereka pulang ke rumah. Itulah mengapa bawaan anak-anak hari ini begitu banyak, karena termasuk keperluan mereka untuk besok saat acara.

"Boleh gitu kalo istirahat duluan padahal belum selesai?"

Ganesh menarik tubuh Jeya untuk lebih merapat padanya begitu melihat meja yang tengah diangkut nyaris mengenainya.

"Boleh, nggak papa kok, Je. Kamu nggak perlu terlalu khawatir. Mereka udah biasa kok."

"Tapi 'kan kasian." Jeya mendongak dengan pipi yang masih menempel di dada Ganesh.
Mata yang terbuka polos, ekspresi yang menunjukkan bagaimana keadaannya dirinya secara gamblang. Ganesh tanpa sadar malah terdiam mengamati itu.

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang