Jeya menarik simpul tali terakhir dari gelang anyam motif etnik yang tengah dieksekusinya itu. Gelang anyam memang yang paling banyak menyita waktu, namun tentunya hal itu setimpal dengan hasil yang dijajakan. Meskipun lelah, kepuasan setelah Jeya menyelesaikan rasanya setimpal.
"Ah ... akhirnya beres juga."
Jeya menegakkan punggungnya. Ia menggerakan lehernya yang kaku hingga terdengar bunyi 'kretek'. Langkah kedua, Jeya merentangkan tangan selebar yang ia bisa, menjemput rasa rileks pada setiap sendi tubuhnya.
Jeya ingin tahu kenapa Mamanya selalu melarangnya melakukan hal ini, padahal ini sangat mengenakan. Cuma bilang pamali, nanti jadi orang pemalas. Lah orang Jeya melakukan peregangan seperti ini habis bekerja. Dari mana pemalasnya? Entahlah, Jeya juga tak mengerti dengan jalur pikiran orang tua, lebih rumit daripada fisika."Segininya nyari rupiah." Jeya memandang gelang itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kotak yang sudah berisi beberapa gelang jadi lainnya. Ia menguap lebar kemudian menarik cepolannya dan mengusek-nguseknya hingga sekarang penampilannya mirip dengan cewek rimba yang baru keluar dari gua.
"Anjir, gue jelek banget ya." Jeya terkekeh begitu melihat pantulan dirinya pada cermin sebesar telapak tangan yang sengaja ia simpan di meja belajar. Bukan hal aneh 'kan? Cewek, no cermin, no life.
"Stop nguli dan mari kita bobo." Jeya berjalan ke arah ranjang yang sudah melambai-lambai menawarkan kenyamanan. Seraya menyambar ponsel dari nakas, Jeya pun menjatuhkan diri pada tempat tidur itu. Sekarang sudah jam 2 pagi. Kalau Jeya tak pasang alarm, alamat ia tak bisa bangun pagi.
Memang ada Mamanya yang pasti membangunkan, namun kalian perlu tahu bahwa alarm yang Jeya maksud itu bukan untuk membuatnya bangun, tapi kasih aba-aba sebelum suara Kanjeng Ratu yang membahana menerpa gendang telinganya. Minimal jantung Jeya sedikit terselamatkan kesehatannya.Sembari menunggu kesadarannya benar-benar lenyap, Jeya sempatkan dulu membuka obrolan grup dengan angka notifikasi nyaris ratusan itu. Saat masih agak sorean tadi, ponselnya memang tak berhenti berbunyi. Biasa, anak kelasnya. Kalau sudah rusuh preman pasar pun kalah. Padahal seingat Jeya anak IPA itu identik dengan orang pintar, pendiam, dan bersahaja. Mamanya pun bilang begitu.
Namun entah kenapa dengan anak-anak kelasnya. Apa mungkin mereka mangkir ketika Tuhan membagikan sifat-sifat baik itu?Entahlah.
Bodo amat Jeya.
Itu tak penting.
Eh bentar!
Jeya menghentikan jarinya yang menggulir layar. Matanya yang tadi sudah setengah turun pun kembali terbuka dengan sempurna. Menambah kesan dramatis, Jeya bahkan sampai bangkit dari posisi berbaringnya.
Jeya menjauhkan ponselnya, ia mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa ini asli. Karena telat tidur, bisa saja 'kan dirinya berhalusinasi?
Namun, ketika Jeya kembali pada layar ponselnya, semuanya tetap sama, tak ada yang berubah.-Kata Bu Dirta, yang nggak ngumpulin tugas besok, nggak bisa ikut ulangan.
Tugas? Besok? Ulangan?
Jeya memukul pipinya sendiri untuk mendapat kesadaran.
Bencana macam apa ini Ya Tuhan?Jeya sama sekali tak tahu apa tugasnya. Apalagi soal ulangan karena minggu kemarin ia memang izin ke pernikahan sepupunya.
-Bu Dirta ngasih tugas apa?
-Ada yang mau fotoin nggak?
-Soalnya aja kok, gue nggak minta jawaban.
-Ayodong plis, masa nggak ada yang mau bantu gue?
-Udah pada off ya?"Huwaa...." Jeya mengerang kencang, ia mengacak-acak rambutnya. Bagaimana sekarang, pesan yang dikirimnya tak ada satu pun yang merespon.
Meskipun Jeya akui tak begitu mahir dalam pelajaran, tapi dia bukan orang yang anti-berusaha seperti itu. Ia bukan anak nakal yang hanya asal datang ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya Mantan [TAMAT]
Teen Fiction"Je, lo beneran nggak pacaran lagi sama Ganesh?" "Iya, kan gue juga udah bilang putus sama dia 30 Januari." "Terus kenapa dia masih suka perhatiin lo?" "Oh mungkin dia lupa." "MANA ADA JEYA ORANG LUPA JADI MANTAN!" Lula Thana, 7 Maret 2021 - 4 Novem...