33. Penyelamat

40.8K 4.8K 105
                                    

"Udah Fer, tenang dulu." Ganesh mencoba menyodorkan soda kalengan pada Ferdi. Namun cowok yang ubun-ubunnya panas itu tak menerima, ia hanya mendecih dengan tatapan sinis.

Ganesh tersenyum tipis, ia sudah memperkirakan kemarahan Ferdi. Ganesh bahkan sudah siap seandainya semua barang-barang di kamar ini dilempar cowok itu. Dia sadar, kesalahan cukup besar. Secara tidak langsung Ganesh mempermainkan Ferdi. Meski ternyata Ferdi tak sebrutal praduganya.

"Gue nggak ngerti sama otak lo sumpah." Ferdi menggeleng-geleng. "Dulu nembak Sica, malah jadi Jeya. Udah berusaha lepas dari Jeya sampe pontang-panting gue meras otak, Jeyanya berhasil ngejauh, dengan mudahnya lo sekarang bilang lo suka Jeya?"

Ganesh menyengir dengan setengah meringis. Ia masih ada rasa antipasi kalau-kalau Ferdi melampiaskannya dengan pukulan. "Ya, 'kan soal perasaan siapa yang tau(?)"

"Kenapa nggak dari dulu, Nesh?" Ferdi menggosok-gosok wajahnya kasar.

Ganesh tahu seberapa besar usaha Ferdi selama ini untuk memisahkan dirinya dengan Jeya, agar bisa kembali mengejar Sica. Ferdi melakukan segalanya dengan pengorbanan mental yang tak sedikit. Wajar, ketika ia menemui titik hasil dan Ganesh berkata tak menginginkan Sica, melainkan Jeya yang susah payah dipisahkannya, Ferdi meradang.
Kalau ujung-ujungnya Jeya, Ferdi tak perlu repot-repot selama ini, begitulah.

"Capek gue, Nesh. Lo nggak niat bunuh gue aja?" Ekspresi Ferdi sudah tak karuan. Dia frustrasi.

Ganesh menggaruk alisnya. "Lapar nggak, Fer? Gue beliin makan ya?"

Ferdi menatap tajam. "Lapar gue! Pengen makan makhluk kayak lo!"

oOo

"Je, kamu serius mau ke sekolah?" tanya Ratih begitu putrinya itu duduk di meja makan dan mulai menyantap sarapan yang ia sajikan.

"Ya sekolah, Ma. Aku 'kan nggak sakit."

Memang, tapi matanya yang bengkak membuat Ratih khawatir. Kemarin Jeya pulang diantar Bella, dengan keadaan mata dan hidung merah karena menangis. Ratih tentu khawatir, namun Jeya menolak untuk bercerita.
Ratih takut jika anaknya menjadi korban perundungan seperti yang ada di TV, tapi setelah diam-diam menemui Bella semalam, gadis itu berkata kalau ini soal perasaan anak muda.

"Maksudnya kamu nggak papa nanti diliatin orang karena matanya kayak gitu?"

Jeya mengeluarkan ponselnya lalu bercermin di sana. "Padahal udah aku kompres loh ini. Emang jelek banget ya, Ma?" Jeya menekuk bibirnya ke bawah, sedih.

"Bukan jelek. Tapi 'kan kamu biasa ceria. Orang-orang pasti khawatir dan nanyain kamu. Kamu emangnya nggak papa?"

Jeya termenung. Benar, pasti merepotkan meladeni mereka. Padahal sebenarnya Jeya ingin sendiri kalau boleh jujur. Perasaannya masih tak membaik, tapi hari ini pasti ada kumpulan. Jeya tak mungkin egois apalagi berpotensi merepotkan orang lain.

"Aku pake sunglasses aja?"

"Tetep aja, kamu masih bakal narik perhatian."

Jeya terdiam, berpikir. "Aku bilang aja lagi sakit mata."

Ratih menghela napas. "Oke-oke, kalau kamu maunya sekolah. Makan yang banyak, Mama siapin bekalnya dulu."

oOo

Jeya sedikit menunduk ketika orang-orang menatap ke arahnya. Namun karena dia tak mau kalah dengan rasa malunya, Jeya tetap berjalan ke arah kelas.
Hati suram, segala yang dilihat pun juga demikian.
Jeya tak suka memakai sunglasses karena itu hanya membuat semua yang dilihatnya kehilangan rona. Semakin membuatnya susah menyunggingkan senyum. Contohnya seperti sekarang saat ia berpapasan dengan Jola dan anak itu menyapanya.

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang