52. Belajar Bareng

41.5K 3.2K 55
                                    

Hari yang sama saat Jola pertama kali tau Ganesh-Jeya

"Kenapa kita harus belajar sesusah ini, padahal fungsi di sehari-harinya apa coba?"

Jeya menekuk wajahnya. Baru saja sesi belajarnya mau dimulai, namun begitu tangannya membuka halaman pertama yang dipenuhi angka dan simbol-simbol--yang menurutnya--mengerikan, semua energi positif dari dalam dirinya seolah sirna seketika. Padahal tadi Jeya sudah mengisi penuh perutnya, karena sangat sadar mempelajari angka-angka fiktif begitu menguras tenaga. Yang tak Jeya perkirakan, ternyata dia bisa langsung KO bahkan sebelum peluit start dibunyikan.
Sedahsyat itu, sesuatu yang disebut Matematika.

Hari Sabtu, di mana jam pelajaran hanya sedikit. Jam 12 bel pulang sudah berdentang. Dan biasanya hari ini digunakan para ekskul. Karena Jeya bukan orang yang aktif, secara jelasnya tak punya kegiatan lain, Ganesh pun membuatkannya jadwal untuk belajar bersama. Larat, Ganesh yang mengajari Jeya.

"Yang penting kita bisa tambah, kurang, bagi, sama kali, 'kan, Nesh?" Matanya mendongak. Menatap Ganesh yang sudah memasang senyuman. Bukan senyum meremehkan, namun memaklumi bahwa pemikiran seperti itu memang sudah wajar keluar dari kepala seorang Jeyana Trinity.

"Ya memang, yang kayak gini nggak mungkin dipake dalam keseharian, tapi bukan berarti nggak ada manfaatnya. Buat profesi tertentu, semua yang kita pelajari pasti berguna."

Jeya bergidik ngeri. "Artinya aku nggak boleh ambil profesi yang pake keribetan itu semua."

Ganesh terkekeh. "Tapi karena sekarang kita pelajar, kita tetep harus mempelajarinya loh, Je."

Jeya menghela napas berat kemudian membaringkan kepalanya pada permukaan meja. Jeya tengah menyuguhkan pemandangan yang disebut menyerah sebelum bertarung.

"Aku kayaknya nggak sanggup buat soal-soal ini. Waktu dijelasin Bu Agni pun nggak bisa ngerti sedikit pun. Heran deh, kok makin kesini Matematika nggak keliatan kayak Matematika."

"Nggak keliatan kayak Matematika?" Ganesh membeo dengan tawa yang tertahan.

Jeya sedikit tersinggung hingga menegakkan tubuhnya kembali. "Iya tau, Nesh. Pake simbol-simbol segala. Ngerjain tugas rasanya kayak jadi detektif mecahin kasus. Apalagi ya kalo jawabannya itu kurang dari 0. Buat orang yang otaknya kayak aku, itu kayak apa banget gitu. Yang bikin soal kalo gabut ya jangan sampe nyusahin orang dong."

Ganesh mengarahkan tangannya untuk menangkup pipi kiri Jeya. "Kayaknya Jeyana kita lagi nggak mood banget ya sama Matematika." Ibu jari Ganesh bergerak mengusap-usap. "Yaudah, gimana kalau belajarnya nanti aja?"

"Jangan dong, kamu udah bela-belain luangin waktu buat ini." Keseharian Ganesh itu sibuk. Sekarang itu harusnya waktu istirahat dia, tapi cowok itu meluangkan waktu untuk membantunya. Harusnya Jeya tak membuatnya sia-sia 'kan? Harusnya Jeya lebih tahu diri karena ini untuk kebaikan dirinya juga.

"Tapi hari ini kamu keliatan nggak bersemangat."

"Aku sebenarnya nggak pernah ngerasa bersemangat loh Nesh kalo ngadepin Matematika. Kecuali soal tentang berapa harga pensil sama buku. Soalnya hasilnya nggak ada koma-komaan. Sayangnya nggak ada materi yang kayak gitu lagi." Entah Jeya yang terlalu mata duitan atau memang soal yang mencantumkan nominal rupiah itu lebih mudah dipecahkan oleh dirinya.

"Soal kayak gitu memang lebih mudah. Kamu pasti lagi mikir, terus kenapa harus susah-susah kalo yang relate-nya yang mudah. Jadi karena konteksnya kita belajar, seandainya yang susah aja bisa, gimana yang mudah," papar cowok itu. Dia kemudian terdiam beberapa saat.

"Atau gini aja, kita nggak belajar ini." Ganesh menutup kertas kumpulan soal yang tadi Jeya buka. "Dan biar waktunya nggak sia-sia, kita belajar materi yang kamu bisa."

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang