36. Insiden

42.1K 4.8K 39
                                    

Rista:
Temen lo brengsek!

Ferdi:
?

Rista:
Bilangin sama Ganesh, kalo udah pacaran sama Sica, jangan ganggu Jeya lagi!

Ferdi:
Ganesh nggak pacaran sama Sica.

Rista:
Kenapa lo bisa yakin? Bisa aja 'kan Ganesh backstreet.

Ferdi:
Kagak elah. Ganesh emang sempat mau nembak Sica, tapi nggak jadi karena di suka sama Jeya.

Rista:
Suka sama Jeya?

Ferdi:
Iya, bangsat 'kan mantannya temen lo itu. ^•^

Rista:
Itu temen lo anjir!

Rista menurunkan ponselnya. Keningnya berkerut samar. Ia melirik Jeya yang tengah mengumpulkan tisu bekas pada kantong kresek. Kalau menilik potensi keakuratan informasi, Rista jelas akan lebih memilih percaya perkataan Ferdi. Bukan Rista tak setia kawan atau kacang lupa kulitnya, tapi otak Rista lebih jalan meski mereka sahabatan. Ganesh yang terkenal sebagai good boy, yang paling depan banget soal menghargai, tidak masuk akal bukan jika tiba-tiba menjadi cowok hidung belang yang mainin cewek?

"Je, dari mana lo tau Sica sama Ganesh pacaran?" Rista melipat tangan dan menatap Jeya penuh selidik. Kunci hidup dengan seorang Jeya adalah jangan membiarkan masalah berlarut-larut. Sebisa mungkin segera di-clear-kan.

"Gue nggak sengaja liat waktu Ganesh nembak Sica."

"Liat? Cuma liat aja?" tegas Rista. "Bisa aja 'kan loh Je mereka ngomongin yang lain 'kan?"

"Bukan, ya maksudnya sama denger juga lah, Ta. Masa lo nggak ngerti sih?"

Rista ingin rasanya menjitak Jeya. Bukan Rista bodoh, tapi ia sengaja merincikan begitu karena tahu watak Jeya yang suka seenaknya menyimpulkan sendiri.

"Iya-iya, jadi maksudnya lo liat plus denger ketika Ganesh nembak Sica?"

Jeya mengangguk. "Gue denger Ganesh bilang ada sesuatu yang pengen dia omongin ke Sica. Apalagi kalo bukan nembak? Dari dulu 'kan Ganesh suka sama Sica."

"Bentar-bentar," Rista terdiam dengan tangan disimpan di dagu. "Apalagi?" Rista seolah menemukan kata kunci yang penting. "Jadi maksudnya lo nggak nyaksiin sampai tuntas?"

Jeya mengangguk. "Gue pergi."

"Kenapa?"

"Ng ... Nggak tau." Jeya menunduk dengan tangan meremas-remas pakaiannya. "Ngerasa nggak nyaman aja, kalo gue harus liat mereka sampe akhir.."

"Dada lo berasa sakit?"

"Iya. Kok bisa tau?"

Mata Rista menyipit. Ini bukan tentang kacamata hitam yang tadi pagi dia pakai 'kan?

oOo

Jeya menggantung handuk yang telah ia kenakan lalu menjatuhkan tubuhnya pada kasur yang sedari tadi terus melambai menggodanya. Jeya menatap langit-langit yang berornamen stiker bintang menyala, biasanya ia akan merasa bahagia, tapi sekarang ia malah menghela napas kasar. Jeya sudah capek merutuki kebodohannya. Tidak ada habisnya. Terus ditangisi pun rasanya tak ada gunanya. Ia kembali mengulang dan mengulang. Seolah seluruh isi hidupnya hanya untuk remidial saja. Padahal dulu hidupnya tenang-tenang saja. Apa semakin beranjak dewasa, hidup hanya soal masalah saja?

Ponsel Jeya berbunyi. Ia mengambilnya kemudian mendapati nama Ganesh tertera di sana. Sudah lama sekali sejak mereka tak saling komunikasi lewat ponsel. Kalau dibilang rindu, mungkin iya. Karena dulu Jeya sangat terbiasa dengan semua itu.
Maka dari itu ada dorongan dalam dirinya untuk mengangkat telepon itu. Yang untungnya sisi yang lain cepat menjelaskan jka dia bisa menyakiti Sica dengan tindakannya.

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang