Dua orang lelaki berjalan agak sempoyongan menembus dinginnya malam. Udara dingin kaki gunung Merbabu tak terlalu dirasakan karena efek ciu Bekonang yang mereka konsumsi. Sepanjang jalan keduanya tak henti mengoceh setelah menenggak miras tradisional khas Sukoharjo yang berbahan tetes tebu bercampur etanol itu sebagai selebrasi atas kemenangan mereka.
Beberapa meter di depan mereka, seorang perempuan bertubuh molek tergeletak di atas limban, jembatan kecil untuk pejalan kaki. Roknya tersingkap, memperlihatkan sepasang paha mulusnya. Blus yang dikenakannya pun tak terkancing sempurna, menyebabkan kedua payudara ranumnya tersembul.
"Sopo kuwi?" Si lelaki pertama yang bertubuh tambun bertanya pada temannya, siapakah perempuan yang tidur dengan posisi telentang di atas limban. Lampu penerangan jalan yang remang-remang dan kesadaran yang mulai berkurang menghambat kemampuannya untuk melihat dengan jelas.
"Kayaknya Surem," tebak si lelaki kedua yang bertubuh tinggi kurus.
Keduanya lalu menghampiri si perempuan yang tampak tertidur pulas.
"Betul, si Surem," ujar si tambun sembari mengamati Surem dari atas ke bawah. "Dia ini ... gila saja ayu, apalagi waras!"
Si tinggi kurus tertawa, mengakui perempuan ODGJ itu memang berparas manis. "Nek waras wis tak pek bojo wit biyen!" Ia mengatakan andai Surem waras sudah sejak dulu dipersuntingnya menjadi istri.
"Semlohai tenan!" Si tambun mengomentari tubuh Surem yang seksi aduhai, sambil mengangkat rok perempuan ODGJ itu.
"Denok deblong!" Si tinggi kurus berdecak, memuji Surem sebagai perempuan cantik. Ia pun tak mau ketinggalan membuka kancing baju Surem meski dengan susah payah karena rendahnya koordinasi motorik akibat ciu.
Surem, yang kelelahan setelah berdelusi berjoget, bernyanyi, berlari-lari, hingga berguling di tanah bersama Rhoma Irama, tak merasakan ulah dua lelaki yang mulai menggerayanginya. Ia benar-benar tertidur lelap. Tubuh molek Surem dan kondisinya yang seolah pasrah membuat nafsu kedua lelaki itu semakin menggelora.
"Aku sudah puasa tiga bulan gara-gara istri hamil!" ujar si tambun menyeringai. Tangannya sibuk menggerayangi selangkangan Surem.
"Aku lebih lama lagi!" sahut si tinggi kurus, merasa punya teman senasib. Tangannya bergerak meraba payudara Surem, mulutnya tersenyum lebar bak mendapat rezeki tak terduga.
Surem menggeliat, tetapi belum juga terbangun. Gerakan Surem justru kian memancing libido kedua lelaki itu, mereka semakin agresif.
"Heh!" tegur seseorang dari belakang mereka. "Apa yang kalian lakukan?"
Kedua lelaki yang sedang berada dalam kondisi tipsy itu mendengkus, kesal kenikmatannya terganggu. Mereka menoleh, ingin memaki. Namun, begitu melihat siapa dua orang pria yang sedang berdiri di belakangnya, mereka hanya bisa memasang muka cengengesan.
"Kami mau memindahkan Surem, Mas," dalih si tambun.
"Iya, kasihan dia tidur di sini," timpal si tinggi kurus dengan suara tidak terlalu jelas.
"Wah, kalian mabuk, ya!" tuduh lelaki berbelangkon yang datang bersama lelaki yang barusan menegur kedua orang itu. Ia melongok mencari tahu siapa perempuan yang tertidur. Dilihatnya Surem dengan pakaian yang sudah tak lagi menutupi tubuh.
"Tidak, kok, Mas. Cuma sedikit pusing," sanggah si tinggi kurus.
"Dia kenapa?" tanya si lelaki berkacamata yang tadi menegur sambil menggerakkan kepala ke arah perempuan yang terkapar.
"Tidur," jawab si tambun. "Jenenge yo wong edan, turu sak karepe dewe." Ia memberitahu bahwa yang namanya orang gila kalau tidur seenaknya sendiri.
"Kita bawa dia ke rumahnya!" Si lelaki berkacamata memberi usul. "Di mana rumahnya?"
"Di situ," jawab si lelaki berbelangkon menunjuk ke sebuah rumah gedek kecil tak jauh dari limban tempat Surem terkapar. "Perempuan itu agak begini." Ia memberitahu temannya, menempelkan jari telunjuk di dahi dengan posisi diagonal.
Lelaki berkacamata tak berkomentar, menghampiri Surem diikuti temannya yang mengenakan belangkon. Keduanya terdiam sejenak melihat Surem yang nyaris telanjang. Meskipun mengalami gangguan jiwa dan badannya tidak terlalu terawat, tetapi lekuk tubuh perempuan ini memang menggiurkan dan bisa membuat darah lelaki tak kuat iman bergejolak, apalagi pria mabuk.
Si kacamata kemudian berinisiatif merapikan pakaian Surem dan memapahnya pulang dibantu lelaki berbelangkon.
Kedua lelaki yang semula berniat buruk hanya bisa mendengkus kecewa, lalu memilih mengekor. Surem yang masih teramat capai dan sedang tidak terkoneksi dengan realitas, tidak protes saat dirinya dipapah dan dibaringkan di atas balai-balai depan rumahnya. Sepertinya ia masih menganggap itu adalah bagian dari delusinya.
Si lelaki berbelangkon mengetuk pintu, memanggil ayah Surem, tetapi tidak ada jawaban. "Mungkin Pak Sumo sudah tidur," terkanya. Ia mencoba membuka pintu, tetapi terkunci.
"Ya, sudah ... kita tinggalkan saja dia di sini. Lebih aman daripada di pinggir jalan seperti tadi," usul si kacamata. Ia lalu memandangi kedua lelaki mabuk yang tadi dipergokinya hendak menggerayangi Surem. "Kalian pulang! Jangan coba macam-macam!"
Keempat lelaki itu pun meninggalkan rumah Surem, pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun, selang beberapa saat kemudian, keempat lelaki itu tergerak untuk kembali ke rumah Surem pada waktu yang tidak bersamaan. Dan ... salah satu di antaranya, menyeret Surem ke semak-semak, memerkosa hingga perempuan penderita skizofrenia itu hamil.
***
Halo, kind-readers, para pembaca yang baik hati!
Meneroka Jiwa 2 ini adalah sekuel dari cerita Meneroka Jiwa. Jadi, buat yang baru pertama kali mampir di sini, harus baca dulu cerita sebelumnya supaya tidak bingung dengan awal permasalahan, karakter para tokoh, dan dinamika yang terjadi.
Sama dengan semua cerita yang saya buat, kisah ini mengusung tema kesehatan mental dan berunsur edukasi. Kendati merupakan karya fiksi, semua hal di cerita ini, seperti latar, karakter, permasalahan, hingga solusi, dibuat selogis dan sedekat mungkin dengan realitas. Ada selipan teori yang berusaha dikemas seringan mungkin disertai aplikasi praktis di kehidupan sehari-hari. Harapannya, melalui cerita ini, para k-readers bisa mendapatkan insight atau pencerahan untuk mengatasi problematika hidup dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Namun, saya perlu ingatkan, k-readers tentunya tidak bisa melakukan self-diagnose atau mendiagnosis gangguan mental sendiri hanya berbekal dari sekelumit informasi di cerita ini, ya. Perlu pemeriksaan mendalam dari psikolog dan psikiater untuk mendiagnosisnya.
Di sekuel ini, kita akan mengungkap misteri terbesar dalam hidup Wangi. Selain itu, bersama Wangi, kita akan berproses menemukan makna hidup yang hakiki dan berupaya menjadi insan yang lebih baik lagi di kemudian hari. Proses yang memang tak selamanya indah dan acapkali menyakitkan, tapi layaknya sebuah metamorfosis, proses ini akan membuat kita menjelma menjadi sosok yang lebih indah.
Selamat berproses, kind-readers!
Be kind, be humble, be the love.
-KK-
KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomanceKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...