"Ah ... terima kasih, ya, Ngi. Sudah agak enteng rasanya," ucap Iyam yang baru saja selesai dikeroki Wangi.
"Sama-sama, Mbok," jawab Wangi sambil meletakkan balsam dan koin di atas meja. Tampak beberapa foto berbingkai piguran kayu berjajar di atas meja. Ia mengamati salah satu foto. "Ini Mbok Yam sama Mas Banyu?"
"Iya. Itu umurnya sekitar sepuluh tahun. Lagi cakep-cakepnya dan nurut-nurutnya," sahut Iyam terkekeh.
Mata Wangi beralih ke pigura lain, terlihat Iyam di depan sebuah masjid besar. "Ini di mana, Mbok?"
"Itu di Masjidil Haram, Mekah."
"Wah, Mbok sudah naik haji?"
"Alhamdulillah, sudah, tiga tahun lalu. Dibayari Banyu."
Wangi tersenyum. "Mas Banyu sayang banget sama Mbok, ya."
"Kalau tidak sayang, ya, kelewatan!" kelakar Iyam. "Tak kutuk jadi kodok!"
Wangi tergelak.
"Banyu itu perhatian dan peduli banget sama orang. Masalahnya cuma satu, gengsi buat ngomong! Makanya sering diprotes sama mantan-mantannya dulu karena tidak romantis."
"Kok, Mbok tahu?"
"Aku suka nguping kalau dia pacaran." Iyam mengaku sambil terkikik geli. "Dulu pernah ada pacarnya tanya begini, 'Menurutmu aku pantas pakai baju ini atau tidak?'. Harusnya kan dijawab, 'Pantas, dong. Kamu pakai apa juga cantik'. Betul, tidak? Perempuan kan maunya dipuji. Kamu tahu apa jawaban Banyu?"
Wangi menggeleng, pikirannya menerka-nerka perkataan Banyu.
"Yang penting pakai baju!" Iyam mengikuti gaya bicara Banyu.
Tawa Wangi kembali meledak, melihat gaya Iyam sekaligus membayangkan ekspresi Banyu saat mengatakan itu. Dalam hati membenarkan penilaian Iyam. Sebulan berpacaran, amat jarang didengarnya Banyu melontarkan kata atau bersikap romantis.
"Dia persis kayak almarhum ayahnya, Pak Pramono. Tidak cuma wajah, tetapi juga sifatnya. Bapak tidak pernah kudengar sayang-sayangan sama Bu Melati, tapi apa yang Ibu mau pasti langsung dikasih, bahkan kadang tidak perlu minta," ucap Iyam.
"Mas Banyu dekat dengan ayahnya?" tanya Wangi, teringat mitos yang mengatakan bahwa anak lelaki yang punya kemiripan dengan ayahnya sering tidak akur.
"Tidak terlalu, jauh lebih dekat dengan ibunya. Bapak sering tugas ke luar kota sehingga tidak banyak menghabiskan waktu dengan Banyu. Selain itu, keduanya juga sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau kalah kalau berdebat atau berbeda pendapat. Ditambah, Pak Pram menikah lagi setahun setelah Bu Melati meninggal, makin Banyu menjaga jarak," ungkap Iyam sembari bangkit dari tidurnya.
"Eh, Mbok mau ngapain?"
"Beresin kamar Banyu sama nyikat kamar mandinya," sahut Iyam.
"Jangan! Mbok istirahat dulu, biar tidak masuk angin lagi," cegah Wangi. "Biar aku saja!"
"Kamu sudah nyikat kamar mandi bawah, nyapu ngepel rumah, masa bersihin kamar Banyu juga." Iyam merasa tidak enak dengan semua bantuan dari Wangi.
"Tidak apa-apa, Mbok." Wangi menarik Iyam kembali ke tempat tidur. "Atau kamar Mas Banyu memang hanya boleh dibersihkan oleh Mbok?" Ia tiba-tiba khawatir melanggar privasi.
"Tidak juga. Siapa saja boleh masuk. Tidak ada harta karun, yang ada cuma bantal penuh iler," sahut Iyam tersenyum lebar. "Apalagi pacar, pasti boleh masuk!" godanya.
Wangi tersenyum malu. "Biar aku saja yang bersihkan, mumpung Mas Banyu belum pulang. Mbok tidur saja, ya."
Iyam mengangguk, mengikut saran Wangi karena tubuhnya memang masih terasa lemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomanceKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...