36. Hari Penuh Kejutan

14.5K 1.6K 404
                                    

Suasana riuh mewarnai acara halal bihalal di ruang pertemuan Utama Medika. Para karyawan yang hadir saling bersalam-salaman, mengucapkan selamat Lebaran dan permintaan maaf, kendati banyak yang hanya di bibir saja. Tak hanya karyawan, momen rutin yang diselenggarakan tiap tahun usai hari raya itu juga turut dihadiri keluarga Utama. Mereka berdiri di sisi depan, sedangkan para karyawan bergiliran berjabat tangan dengan tertib.

Maryanti Utama, istri dari almarhum pendiri perusahaan, turut berjejer bersama anak, mantu, dan cucunya, meski berada di atas kursi roda. Garis wajah wanita berusia 80-an itu masih memperlihat sisa kecantikan masa mudanya. Para istri direksi, bahkan Firman, suami Rani, pun menyempatkan diri untuk hadir pada acara ini di sela kesibukannya. Dirgantara, adik Samudra, dan tiga orang anak Rahardian tak ketinggalan meramaikan tradisi pertemuan yang dicanangkan sejak Mahdi Utama menjabat sebagai direktur utama.

Di tengah semua orang yang tampak ceria, Aghastyan terlihat menekuk wajah sejak tadi. Ucapan selamat Lebaran dari para karyawan hanya dibalasnya dengan anggukan kepala. Ekspresi lelaki itu bak hidup segan mati tak mau.

Tiba giliran Wangi bersalaman. Orang pertama di deretan keluarga Utama adalah Mahesa, lalu Maryanti.

"Maaf lahir batin, Bu," ucap Wangi kepada Nova, yang berdiri mengapit mertuanya bersama Mahesa.

"Sama-sama. Maaf lahir batin juga," sahut Nova ramah sambil dalam hati memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar perempuan yang sedang menyalaminya ini tidak berjodoh dengan anaknya.

Wangi segera beralih ke Mahendra dan istrinya.

"Maaf lahir batin, Bu." Wangi menjulurkan tangannya ke arah Ayu, setelah sebelumnya menyalami Mahendra.

"Ya," sahut Ayu, segera menarik tangannya setelah bersentuhan beberapa detik dengan tangan Wangi. Andai boleh memilih, ia tak mau bersalaman dengan perempuan ini.

Wangi kemudian menyalami Rani yang berdiri di sebelah Ayu. "Maaf lahir batin, Bu."

"Sama-sama, aku juga minta maaf. Aku mungkin sering bersikap tidak adil padamu," sahut Rani. Ia lalu menoleh ke arah suaminya yang berdiri bersebelahan. "Ini Wangi, Mas."

Wangi tersenyum pada lelaki berusia 60-an yang berdiri di samping Rani.

"Iya, aku masih ingat. Yang dulu nungguin kamu berjam-jam waktu kita di Solo, 'kan?" ucap Firman.

Rani tertawa. "Iya."

Wangi terkejut, tak menyangka Firman masih mengingat pertemuan awalnya dengan Rani. Ia sendiri tidak terlalu memperhatikan sosok lelaki yang saat itu datang bersama Rani saking mindernya. "Maaf lahir batin, Pak," ucapnya sambil menjulurkan tangan.

"Sama-sama, Wangi. Maafkan saya dan istri saya. Maafkan juga kalau ada perlakuan dari keluarga ini yang tidak berkenan di hatimu," ucap Firman sambil menyalami Wangi dan sedikit membungkukkan badan.

Wangi memandangi Firman dengan kagum. Dengan profesinya sebagai dokter jantung ternama di ibu kota, lelaki ini jauh dari kata sombong. Perangainya sama seperti istrinya, rendah hati dan menghargai orang lain. Kekayaan dan jabatan tak membuat keduanya lupa daratan. Sungguh pasangan yang serasi. Di antara ketiga anak dan mantu Mahdi Utama, Rani dan suaminya yang terlihat paling tulus mengucapkan permohonan maaf kepada para karyawan, terutama pada dirinya.

Usai bersalaman dengan Rani dan suaminya, deretan berikutnya adalah Rahardian dan istri, kemudian Samudra dan Dirgantara.

"Maaf lahir batin, Pak," ucap Wangi pada Samudra.

"Sama-sama. Maafkan kesalahanku juga," sahut Samudra disertai senyum.

Wangi lalu berpindah pada Dirgantara, yang memiliki postur dan wajah serupa dengan Samudra. Bedanya, pembawaan lelaki ini terlihat lebih santai, tidak seserius kakaknya. Mungkin karena tidak punya beban untuk mengurusi perusahaan sang kakek.

Meneroka Jiwa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang