"Tumben tidak diantar pacar," sindir Aghastyan seraya menyejajarkan langkah dengan Wangi yang baru saja memasuki lobi gedung.
Wangi mendengkus pelan. Sindiran Aghastyan mengingatkannya pada kerisauan yang melanda. Meski ia telah meminta maaf, Banyu masih bersikap dingin. Ditambah lagi, dalam tiga hari terakhir, Banyu berjaga di rumah sakit menemani ibu Lavi dari malam hingga pagi hari. Kondisi yang membuat mereka jarang bertemu dan kian membuatnya gelisah, selain resah menunggu hasil tes DNA.
"Makanya kalau pacaran itu tidak usah terlalu menggebu-gebu, jadi gampang bosan. Baru tiga bulan pacaran sudah malas antar jemput!" timpal Aghastyan yang melihat Wangi hanya diam.
Wangi merasa tak perlu berkomentar.
"Kamu sudah tahu kalau akan dipindah ke divisiku, 'kan?" Aghastyan mengganti topik.
"Hah?" Wangi menghentikan langkah saking kagetnya. "Kata siapa, Pak?"
"Kataku!" Aghastyan menggandeng Wangi, mengajaknya kembali berjalan menuju lift.
Gerakan dan perkataan Aghastyan mengagetkan Wangi. "Bapak siapa?" tanyanya spontan sambil melepaskan pegangan tangan Aghastyan.
"Heh!" Aghastyan melotot. Reaksi perempuan ini sering tidak terduga. "Kamu menghina, ya?"
"Eh ... maksud saya, Bapak informasi dari siapa?" Wangi meralat pertanyaan spontannya. Saking kagetnya, susunan kalimat pertanyaannya tidak keruan.
"Aku yang minta Tante Rani untuk memindahkanmu jadi tenaga penjualan di divisiku. Kamu kan kemarin bisa menggolkan proyek Sam, pasti bisa bantu divisiku juga, dong!"
"Itu kan cuma kebetulan, Pak. Saya tidak punya pengalaman sama sekali di penjualan."
"Semua juga awalnya tidak ada pengalaman, lama-lama jadi bisa. Kamu dulu di HR juga tidak punya pengalaman, sekarang jadi orang andalannya Shinta."
"Kalau nanti saya tidak mencapai target gimana, Pak?" Wangi memutar otak, mencari cara untuk menolak. Ia tahu betul suasana kerja di divisi Aghastyan yang lebih toksik daripada di HR.
"Belum apa-apa, kok, sudah langsung bilang tidak akan capai target. Jangan khawatir, aku akan jadi mentormu. Baru kali ini aku mau jadi mentor sales baru, lo! Kesempatan langka yang tidak boleh kamu sia-siakan!"
Wangi menarik napas. Kesediaan Aghastyan kian membuatnya cemas. "Bu Shinta setuju?"
"Shinta tidak boleh menghalangi perkembangan karir kamu, dong! Ini kan demi perusahaan!"
"Bu Rani kasih izin?"
Aghastyan menghentikan langkah, menoleh ke arah Wangi dengan wajah gusar. "Kamu sepertinya tidak mau ditempatkan di divisiku, ya?"
"Bukan gitu, Pak. Saya cuma tidak mau ada masalah," kelit Wangi.
"Tenang saja, tidak akan ada masalah kalau sama aku."
Dahi Wangi berkerut, mencerminkan kesangsian. Selama ini, justru setiap bersama Aghastyan, selalu saja ada masalah.
"Nanti siang kamu ikut aku!"
"Ke mana, Pak?"
"Ke klien."
"Di mana, Pak?"
"Kamu kebanyakan tanya!" omel Aghastyan bersamaan dengan pintu lift terbuka dan orang-orang yang tak sabar ingin segera masuk.
Kondisi lift yang dipenuhi orang dari berbagai perusahaan yang berkantor di gedung itu membuat Wangi tidak bisa bertanya lagi kendati benaknya dipenuhi banyak tanda tanya.
Aghastyan menyeringai senang.
***
Senyum menawan terulas di wajah tampan Samudra saat Wangi mengetuk pintu ruang kerjanya. Ia berdiri dan mengangguk, memberi isyarat kepada Wangi untuk memasuki ruangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomansaKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...