47. Permintaan

9.4K 923 217
                                        

Wangi melangkah memasuki kamar ibunya. Sebuah kamar kecil berukuran 3x3 meter dengan 2 kasur tanpa dipan. Cat dinding kamar yang mengelupas di sana-sini, pencahayaan kamar temaram, dan bau kurang sedap menjadi pelengkap yang membuat kamar terkesan suram. 

"Bu ...," panggil Wangi sembari duduk di tepi kasur. Dilihatnya sang ibu terbaring di atas kasur dengan tatapan mata kosong memandangi langit-langit kamar. 

Tidak ada respons dari Surem. Seperti biasa.

Wangi duduk di tepi kasur, meraih tangan Surem, mengecup punggung tangan sang ibu, lalu menggenggamnya erat. "Dalem Wangi, Bu." Ia memberitahu kehadirannya pada Surem.

Masih tidak ada reaksi dari Surem. Matanya tetap memandang langit-langit seolah tidak menyadari kehadiran orang lain di kamarnya.

"Anakmu teko kuwi lo, Rem, nggowo panganan senenganmu," ujar Giarti yang berdiri di pintu, memberi tahu Surem tentang kedatangan anaknya yang membawa makanan kesukaannya.

Surem mengalihkan pandangannya. Ia menatap Wangi yang duduk tak jauh darinya beberapa saat, lalu kembali memandangi langit-langit kamarnya. Seolah tak memedulikan kehadiran anaknya.

Wangi menarik napas panjang. Sejak dahulu, itu adalah reaksi ibu setiap kali ia berkunjung. Ibu seolah tidak pernah mengenalnya. Jauh berbeda dengan reaksi kebanyakan ibu-ibu yang akan langsung memeluk buah hati yang dirindu. Jangankan kecupan, pelukan, atau belaian, sekadar senyum semringah saat menyambut pun tak pernah didapatinya, seolah tidak ada ikatan emosional dari ibu. Ia tahu itu bukan salah ibu. Entah apa yang ada di kepala ibu, mungkin ibu tidak pernah menyadari bahwa dirinya memiliki anak, mungkin alam bawah sadar ibu yang sengaja menyangkal kenyataan agar memori buruk pemerkosaan tidak mencuat dan semakin mendorongnya masuk ke dalam delusi. 

Banyu, yang menyaksikan interaksi Wangi dan ibunya, ikut menarik napas panjang. Ia tidak bisa membayangkan perasaan Wangi. Punya ibu, tetapi tidak bisa merasakan kasih ibu. 

Giarti, yang sejak tadi berdiri di pintu, memasuki kamar. "Aku njaluk serabine, yo, Ngi," pintanya, meminta serabi yang dibawa Wangi untuk Surem. 

"Monggo, Bu," sahut Wangi, mempersilakan Giarti mengambil serabi.

Giarti mengambil satu buah serabi, lalu duduk bersila di lantai tidak jauh dari kasur Surem. "Enak tenan serabine, lo, Rem!" pancingnya, mengomentari kelezatan serabi yang dimakannya.

Surem menoleh ke arah Giarti yang duduk tak jauh darinya, mengamati sejenak Giarti yang tampak menikmati serabi. "Soko sopo?" Ia bertanya siapa yang memberi serabi itu.

"Anakmu wedok sing nggowo ... Wangi," sahut Giarti sambil menggerakkan kepalanya ke arah Wangi yang duduk di samping Surem, menjelaskan bahwa yang membawa serabi adalah Wangi, anak perempuan Surem.

Surem mengalihkan pandangan ke Wangi, dahinya berkerut.

Wangi tersenyum. Giarti selalu bisa memancing agar ibunya bereaksi. "Punopo Ibu kerso?" tanyanya sembari mengangkat kotak serabi, menanyakan apakah ibunya mau makan serabi.

Surem mengggeleng, tetapi matanya terus memandangi Wangi dengan bingung, seperti tidak mengenali siapa yang ada di depannya.

"Menurut dokter, Bu Surem sakit apa, Bu?" tanya Banyu pada Giarti, ikut duduk bersila di lantai berhadapan dengan Giarti.

"Kalau menurut dokter gangguan pencernaan biasa. Surem awalnya cuma mengeluh tidak bisa buang air besar," sahut Giarti.

"Tapi tidak membaik setelah diberi obat?" tanya Banyu.

Meneroka Jiwa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang