43. Skenario

9.2K 992 183
                                    

Wangi terbelalak. Jantungnya berdebar kencang, pikirannya mencerna maksud pertanyaan Banyu barusan. Ia semakin kaget melihat Banyu menyodorkan sebuah benda berbentuk seperti cincin.

"M-mas ngelamar ni-nikah?" tanya Wangi tergugu-gugu.

"Ya jelas ngelamar nikah, lah, Ngi! Masa ngelamar kerja?"

Wangi menelan ludah. "Ni-nikah sama aku?" Ia tidak percaya Banyu mau menikahi anak orang gila.

"Ya masa sama Hitler?!"

"Se-serius?"

"Bercanda!"

"Iiih, gimana, sih? Jangan ngawur, deh, Mas!" Wangi mencubit lengan Banyu.

"Yang bilang ini ngawur siapa, sih?" Banyu garuk-garuk kepala.

"Soalnya Mas sering ngawur, sih!"

Banyu tersenyum geli. Suasana memang tidak pernah jadi romantis antara dirinya dengan Wangi. "Kali ini tidak ngawur, tidak bercanda. Serius banget!"

Wangi lagi-lagi menelan ludah. "Mas yakin?" tanyanya lirih.

"Yakin. Memangnya kenapa?"

"Kan ibuku ODGJ."

"Lantas kenapa? Kan aku nikahin kamu, bukan ibumu."

Wangi menarik napas panjang. "Ada gen skizofrenia yang kubawa, Mas. Kalau Mas nikah sama aku, ada peluang punya anak yang akan menderita gangguan itu. Atau ... bisa saja aku yang mengalami itu di kemudian hari."

"Aku sudah mempertimbangkan hal itu sebelum dulu menyatakan cinta ke kamu. Aku tidak macarin kamu cuma buat main-main, Ngi."

Wangi memandangi Banyu, mencoba menemukan kesungguhan dari sorot mata kekasihnya, meyakinkan diri bahwa lelaki ini benar-benar tahu konsekuensinya.

Banyu mengulas senyum. "Aku sudah tanya ke beberapa ahli, aku juga sudah baca beberapa jurnal ilmiah. Genetik memang berkontribusi, tetapi bukan satu-satunya penyebab. Banyak penderita skizofrenia yang tidak memiliki riwayat gangguan itu di keluarganya. Ada faktor selain genetik yang juga berperan."

"Tapi tetap ada pengaruh genetik, 'kan, Mas? Peluang meningkat sepuluh persen jika salah satu orang tua menderita skizofrenia dan bisa menjadi empat puluh persen kalau kedua orang tua yang mengidap itu. Bagaimana kalau ayah biologisku ternyata juga menderita skizofrenia? Peluangku makin besar." Air mata spontan menggenangi mata Wangi. Sebuah kenyataan pahit yang tidak mudah diterima, tetapi selalu membayangi kehidupannya.

Banyu menggenggam tangan Wangi, bisa memahami keresahan kekasihnya. "Faktor genetik tidak ada dalam kendali kita, tapi masih banyak hal yang bisa kita upayakan dan kendalikan. Apa kita mau menjadikan faktor yang bukan penyebab tunggal sebagai penghalang untuk bersama? Apa kita mau menggadaikan kebahagiaan pada hal yang belum pasti terjadi?"

Gejolak rasa memenuhi dada Wangi. Di satu sisi, ia teramat mencintai Banyu, tetapi di sisi lain, tidak tega membuat masa depan lelaki itu kelam. "Aku takut kamu menderita hidup sama aku, Mas," ucapnya parau menahan isak.

"Masa depan itu penuh misteri, Ngi. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Bukan cuma soal gangguan jiwa, tetapi banyak hal tidak terduga lain yang akan muncul. Yang bisa kita lakukan hanya mengerahkan upaya terbaik untuk menghadapi ketika masalah hadir." Banyu merangkul dan mengusap lengan Wangi, memberi kekasihnya waktu untuk berpikir realistis.

Wangi merebahkan kepala di pundak Banyu, memejamkan mata, menghela napas berulang kali. Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk. Ia pun sangat ingin menjalani hidup bersama Banyu, tetapi khawatir terlalu egoistis dan membuat orang terkasih justru akan menderita bersamanya.

Meneroka Jiwa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang