Semburat pancaran sinar mentari menyambut Wangi kala keluar dari kamarnya. Saat yang bersamaan, Banyu membuka pintu rumahnya. Pakaian olahraga yang dikenakannya menunjukkan bahwa lelaki itu tampaknya tidak berencana untuk mengantar Wangi ke kantor pagi ini.
Pembicaraan tiga orang wanita tentang janji Banyu pada almarhumah ibu Lavi di pemakaman kemarin sore kembali terngiang di telinga Wangi. Meski tahu harus mengklarifikasi pada Banyu, tetapi ia masih belum bisa menguasai emosinya untuk memulai percakapan. Ada harap, seperti biasa Banyu yang memulai terlebih dahulu.
Gerak-gerik Wangi dan Samudra yang saling bertatapan saat pemakaman kemarin sore kembali terbayang di mata Banyu. Meski tahu tak boleh cepat menarik kesimpulan, tetapi ia masih belum bisa menguasai emosinya untuk memulai percakapan. Ada harap, kali ini Wangi yang memulai terlebih dahulu.
Keduanya sama-sama menarik napas panjang. Tanpa sapa dan senyum seperti biasa, mereka melanjutkan aktivitasnya. Wangi bergegas pergi, Banyu memasang tali sepatu lari. Namun, sebuah asumsi muncul di kepala masing-masing. Bagi Wangi, reaksi Banyu seolah membenarkan pendengarannya kemarin. Bagi Banyu, reaksi Wangi seolah menegaskan kecurigaan terhadap penglihatannya kemarin.
Keduanya kembali menghela napas, berusaha memberi waktu pada emosi untuk mereda dan logika untuk bekerja.
***
Tampilan data di layar komputer tak berubah sejak lima belas menit lalu. Pikiran Wangi mengembara, kendati matanya terpaku ke monitor di hadapannya. Berselisih dengan kekasih memang membuat konsentrasi buyar. Resah melanda, tak tahu bagaimana cara mengklarifikasi masalah dengan Banyu. Selama ini, selalu Banyu yang membuka komunikasi tiap kali ada permasalahan di antara mereka. Namun, melihat reaksi Banyu tadi pagi, kali ini ia sangsi. Sementara, untuk berinisiatif memulai pembicaraan, ia tak punya nyali.
"Ngi!" Panggilan Eko membuyarkan lamunan Wangi. "Diminta ke ruangan Bu Rani sekarang!"
Wangi terkesiap, tetapi segera sigap. Ia dengan cepat mengambil buku catatan kecilnya dan bergegas menuju ruangan Rani.
"Silakan duduk, Ngi," ucap Rani saat Wangi membuka pintu ruangannya.
Wangi mempercepat langkah, segera duduk di kursi berseberangan dengan Rani.
"Shinta sedang ada masalah, tampaknya cukup pelik. Dia mengajukan unpaid leave untuk membereskan permasalahannya." Rani menjelaskan latar belakang pemanggilan Wangi.
Wangi manggut-manggut, bisa menduga pasti penyebabnya adalah telepon yang diterima Shinta kemarin. "Masalah keluarga, ya, Bu?"
"Kamu tahu dari mana?" tanya Rani, tahu betul Shinta bukan tipe yang mudah menceritakan masalahnya kepada orang lain, apalagi bawahannya.
"Kemarin tidak sengaja mendengar percakapan Bu Shinta di telepon."
Rani tersenyum.
"Mungkin itu penyebab Bu Shinta punya karakter keras karena punya masalah keluarga yang cukup pelik, ya, Bu?"
"Hurt people hurt people," ucap Rani.
"Apa maksudnya, Bu?"
"Orang yang tersakiti sering kali tidak bisa mengatasi lukanya. Sebagai bentuk perlindungan diri agar tidak tersakiti lagi, tanpa sadar dia menjadi kasar atau bersikap menyebalkan. Dampaknya, malah menyakiti orang lain."
"Ini terkait juga dengan ucapan ibu dulu tentang apa yang ke luar dari sebuah botol menggambarkan apa yang ada di dalam botol? Jadi, kalau dia pernah tersakiti, dia pun akan cenderung menyakiti orang lain. Jika ia sering melontarkan cacian, maka itu karena dalam hidupnya ia sering dicaci?" Wangi teringat cerita Rani saat menghiburnya setelah mendapat perlakuan kurang menyenangkan di ulang tahun Samudra.

KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomanceKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...