Matahari masih menyembul malu-malu di garis cakrawala, tetapi Wangi sudah melangkahkan kaki bergegas pergi. Sambil menoleh ke arah jendela kamar Banyu untuk memperkirakan keberadaan lelaki itu, ia terus berjalan menuju jalan kecil yang menghubungkan antara pekarangan rumah Banyu dengan area tempat usahanya. Lampu kecil di dalam kamar yang biasanya menjadi pertanda bahwa empunya rumah sudah bangun terlihat belum menyala. Ia mengembuskan napas lega, menduga Banyu belum bangun sehingga dirinya tak perlu terjebak dalam interaksi yang masih belum siap dihadapainya.
"Ngik!"
Wangi terkesiap, tak menduga Banyu sudah duduk di teras Bentuman. Tidak dengan baju joging, pun tidak terkesan belum mandi.
"Eh ... Mas," sahut Wangi kaget, "kok, sudah bangun?"
"Kok, kamu sudah berangkat jam segini?" Banyu tidak menjawab, malah balas bertanya.
"Mmm ..." Wangi belum menyiapkan alasan, sibuk mencari jawaban, "a-ada kerjaan."
"Jelas ada kerjaan, namanya juga orang kerja!" sahut Banyu, berdiri dari duduknya. "Yuk!"
"Ke mana, Mas?"
"Ke kamar!"
"Hah?"
"Ke mobil, lah! Kuantar kamu ke kantor."
Wangi panik, tak siap bicara. "A-aku naik angkot saja, Mas."
Banyu tak menggubris, malah memencet remote mobilnya untuk membuka kunci. Tanpa kata, ia menggerakkan kepala ke arah mobilnya.
Meski tak ada perintah lisan, tetapi bagi Wangi permintaan Banyu tak bisa ditolaknya. Merasa tak punya pilihan, ia pun menuruti. Jantungnya berdegup kencang. Yakin bahwa Banyu akan bertanya tentang perubahan sikapnya, tetapi juga tidak tahu bagaimana menyampaikan asumsinya.
"Aku minta maaf," ucap Banyu sambil memanaskan mesin mobilnya.
"Kenapa?" Wangi bingung mengapa Banyu tiba-tiba meminta maaf.
"Mungkin aku melakukan kesalahan yang bikin kamu menghindar dariku."
Wangi menelan ludah. "Mas tidak salah, kok."
"Lalu kenapa menghindariku?"
Wangi kembali menelan ludah. "Aku tidak menghindar, kok."
"Yakin?"
Lagi-lagi Wangi menelan ludah, mulai menarik-narik ujung bawah blusnya. "Cu-cuma pusing saja," dalihnya.
"Pusing karena aku?" terka Banyu.
Wangi kehabisan alasan.
Banyu mulai menjalankan mobilnya keluar dari area parkir Bentuman. "Satu hal yang paling tidak kuinginkan adalah punya hubungan yang toksik," ujarnya.
"Apa itu?"
"Hubungan yang sebenarnya cuma saling menyakiti. Contohnya, hubungan yang tidak terbuka, yang kalau ada masalah tidak dibicarakan dengan baik. Persis kayak sekarang ini!"
Sebuah sentilan yang jelas dirasakan oleh Wangi.
"Kalau kamu tidak cerita, sedangkan sikapmu padaku jelas berubah, aku akan mengartikan semua dengan persepsiku sendiri yang bisa jadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Jauh lebih baik kalau kamu bicara apa adanya, daripada timbul salah paham," imbuh Banyu.
Wangi menarik napas panjang, teramat gelisah. Tidak punya keberanian sama sekali untuk mengungkapkan asumsinya mengenai sumbangan almarhum ayah Banyu. Khawatir Banyu tersinggung atau bisa jadi malah makin membenci ayahnya seperti cerita yang didengarnya selama ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomansaKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...