"Pagi," sapa seseorang saat Wangi menempelkan kartu aksesnya di flap barrier gate.
"Pagi, Pak." Tanpa melihat pun Wangi tahu siapa pemilik suara itu. Ia menoleh dan mengulas senyum pada Samudra setelah melewati pintu akses.
"Kapan mulai kuliah?" tanya Samudra, berjalan bersama Wangi menuju lift.
"Akhir bulan."
"Semoga lancar kuliahnya."
"Amin. Terima kasih."
"Aku senang kamu akhirnya memutuskan menerima tawaran beasiswa itu."
Wangi tersenyum. "Terima kasih sudah mendaftarkan saya."
Samudra membalas dengan senyuman. "Kapan berangkat ke Hong Kong?"
"Lusa."
"Berapa lama?"
"Hadiahnya tiga hari dua malam, tapi saya perpanjang jadi lima hari karena mau ke Macau juga."
"Wah, tempat yang menarik itu. Berarti saat nikahan Aghas, kamu tidak ada?"
"Iya. Pas banget tanggalnya."
"Pergi sama siapa?" tanya Samudra, walau sudah bisa menduga jawabannya.
"Mas Banyu."
"Berdua saja?"
"Iya."
Samudra merasakan kegetiran berbarengan dengan pintu lift yang terbuka. Di dalam lift yang penuh sesak, ia memandangi punggung Wangi yang berdiri membelakanginya. Perempuan ini mengalami transformasi yang signifikan dalam satu tahun. Tidak hanya dari penampilan, tetapi juga kemampuan. Dari intan menjadi berlian. Berlian yang tidak dapat digenggamnya.
Wangi menoleh ke belakang saat penunjuk lantai di lift menampilkan angka 15, mendapati Samudra sedang memandanginya. "Duluan, Pak."
Samudra dengan cepat menguasai diri. "Silakan," balasnya disertai senyum.
Wangi melangkah ke luar, menyapa beberapa rekan kerja yang berpapasan saat menuju ruang HR. Beberapa membalas sapaan, beberapa melengos. Ia tersenyum dalam hati. Ada untungnya sejak dahulu terbiasa mendapatkan respons tidak menyenangkan dari orang lain sehingga tidak terlalu diambil hati. Bedanya, kalau dulu setiap mendapat perlakuan seperti itu, ia mengelus dada dan memohon diberikan kesabaran. Kali ini, tak lagi seperti dulu, ia tidak ambil pusing karena reaksi orang berada di luar kendalinya.
"Waaah, yang mau ke Hong Kong, beda banget auranya!" goda Endah saat Wangi memasuki ruang kerjanya.
"Eh, Mbak Endah." Wangi tersenyum lebar sambil meletakkan tasnya.
"Ada kejadian seru hari Minggu kemarin, Mbak!" lapor Endah.
"Kejadian apa?"
"Kemarin aku disuruh ikut bantu-bantu di rumah Pak Aghas untuk pengajian menjelang pernikahannya. Masa Pak Aghas-nya malah menghilang!"
"Hah? Terus gimana? Pada panik, dong?"
"Bukan panik lagi! Heboh! Kebayang kan Bu Ayu ngomelnya kayak apa? Semua pembantu dan penjaga rumah diomelin karena tidak menjaga Pak Aghas. Memangnya Pak Aghas anak kecil dipantau terus? Lagi pula semua orang sibuk nyiapin ini itu!" Endah menceritakan dengan berapi-api. "Kayaknya si Bu Ayu waktu kecil nelan toa sama petasan cabe rawit, deh! Berisik banget!"
Wangi antara prihatin dan geli melihat ekspresi Endah. "Pengajiannya gimana?"
"Tetap jalan, soalnya tamu sudah pada datang!"
"Pak Aghas ketemu?"
"Sampai aku pulang belum, tetapi tadi pagi kudengar info, sudah pulang malam-malam," jawab Endah. "Katanya Pak Aghas tidak mau menikah, tetapi pacarnya sudah hamil duluan. Jadi, terpaksa, deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
Lãng mạnKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...