Wangi melongo beberapa detik, memandangi Aghastyan, memastikan pendengarannya. Tak lama, ia terkekeh geli. "Bapak lucu."
Ganti Aghastyan yang melongo. Sering sulit baginya memprediksi reaksi Wangi. "Lucu? Kamu pikir aku lagi ngelawak?"
"Saya memang lagi sedih, Pak, tapi tidak usah sampai begitu banget menghiburnya." Wangi mengusap air mata di sela tawa gelinya, lalu beranjak pergi.
Aghastyan bergegas menyusul Wangi. "Sialan! Aku tidak bercanda! Aku serius, bukan sekadar untuk menghiburmu!"
"Bapak sendiri yang dulu bilang kalau saya bukan selera Bapak. Bapak sukanya yang berani, bukan yang kayak saya. Lupa, ya?" Wangi tersenyum geli. Cara Aghastyan menghibur kadang cukup aneh.
Aghastyan memegang lengan Wangi untuk menahan langkah perempuan itu. "Seleraku berubah setelah ketemu kamu."
Langkah Wangi terhenti. Dipandanginya Aghastyan beberapa saat. Senyum di bibirnya seketika pudar melihat mimik serius lelaki itu, berganti dengan kontraksi di perutnya yang mendadak intens. Dilihatnya simbol kamar kecil tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Pak, saya ke toilet dulu. Kita ketemu di ruang tunggu direksi tadi saja, ya, Pak!" Wangi segera menghambur tanpa menunggu persetujuan Aghastyan.
Sambil duduk di kloset, Wangi mengatur napas. Untung saja, kamar mandi rumah sakit sangat bersih, ditambah pengharum ruangan beraroma serai sehingga membantunya untuk menenangkan diri. Hatinya tak hanya gundah karena menyaksikan Banyu mengusap kepala Lavi, tetapi juga bingung setengah mati dengan perubahan sikap Aghastyan. Apakah Banyu masih memendam rasa cinta kepada Lavi? Bagaimana mungkin Aghastyan, lelaki pongah yang sering bersikap sinis padanya justru menyatakan cinta? Belum lagi Samudra yang tadi masih menunjukkan bahwa cintanya tidak berubah.
Duh Gusti, uripku, kok, katon neko-neko, yo! Ia tak habis pikir mengapa banyak hal aneh dalam hidupnya.
Lima menit menenangkan diri di toilet, Wangi memberanikan diri keluar dari kamar kecil. Ia celingukan, lupa di mana letak ruang direksi yang tadi didatanginya dan baru teratasi setelah bertanya kepada petugas. Namun, baru berjalan beberapa langkah, suara berdeham Aghastyan terdengar jelas di telinganya.
"Kita pulang saja," ujar Aghastyan.
"Lo, kenapa, Pak? Tidak jadi bertemu dokter Eka?"
"Aku tidak mood."
"Hah?" Wangi tidak dapat menutupi kekagetannya. Bagaimana bisa janji dengan seorang dokter bedah merangkap direktur yang memiliki jadwal sangat padat dibatalkan begitu saja hanya karena alasan tidak mood?
"Gara-gara kamu, sih!"
"Kok, gara-gara saya?" protes Wangi, tidak terima disalahkan.
"Soalnya kamu anggap aku bercanda!"
"Gustiii!" Wangi menepuk jidat. Bukan Aghastyan memang kalau tidak bertindak seenak udelnya. "Nanti kita dianggap tidak profesional, Pak."
"Biarkan saja!"
"Jangan gitu, Pak, nanti citra Utama Medika jadi buruk," bujuk Wangi. "Nanti kalau dokter Eka kesal karena kita ingkar janji dan tidak mau beli produk sama kita lagi, gimana?"
"Cari klien lain! Susah amat!" Aghastyan melengos, berjalan ke arah lobi.
Wangi garuk-garuk kepala, tak tahu bagaimana lagi merayu Aghastyan. Ia pun bingung sendiri, siapa sebenarnya yang punya perusahaan? Mengapa dia yang lebih peduli terhadap reputasi dan kerugian perusahaan dibanding cucu dari sang pendiri?
"Bapak serius tidak jadi ketemu dokter Eka?"
"Tuh, kan, dari tadi kamu anggap aku bercanda!" Aghastyan mendengkus kesal.
![](https://img.wattpad.com/cover/320126884-288-k16799.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomanceKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...