Suara takbir mulai berkumandang, menandakan berakhirnya puasa Ramadhan. Sebuah momen yang tidak hanya identik dengan hari kemenangan atas takluknya hawa nafsu, tetapi juga saat berkumpul dengan sanak saudara terkasih yang teramat dirindu.
"Kok, yo, repot-repot bawa sebanyak ini, to, Ngi?" ujar Giarti begitu melihat bingkisan yang dibawa oleh Wangi. Tampaknya rezeki Wangi sekarang sangat lancar, terbukti semenjak merantau ke Jakarta, anak Surem ini selalu membawa oleh-oleh yang amat banyak tidak hanya bagi ibunya, tetapi juga untuk seluruh penghuni panti, termasuk para petugas.
"Tidak repot sama sekali, kok, Bu," sahut Wangi sembari menyalami dan mencium tangan Giarti.
"Tadinya malah mau diborong tokonya sekalian," celetuk Banyu sambil meletakkan tumpukan bingkisan di ruang pengelola panti.
"Jiiiaaan ... sugih tenan!" Surip berdecak kagum, mengomentari Wangi yang sekarang menjadi kaya raya.
"Bercanda dia, Pak!" Wangi mencubit lengan Banyu, khawatir guyonan Banyu dianggap serius oleh Giarti dan Surip.
"Ini buat Ibu dan Bapak." Wangi menyodorkan dua buah bingkisan besar untuk Giarti dan Surip yang langsung disambut dengan wajah semringah. "Terima kasih sudah merawat Ibu dengan sabar selama ini. Bingkisan ini tidak sebanding dengan jasa Ibu dan Bapak."
Giarti memeluk Wangi sambil mengucapkan terima kasih. "Semoga kebaikanmu dibalas oleh Gusti Allah. Rezekimu berkah dan dilancarkan. Karirmu makin sukses. Sehat lan slamet!"
"Tidak didoakan jodohnya dimudahkan juga, Bu?" goda Banyu.
Wangi mendelik. Giarti terbahak.
"Lah, wong, jodohnya sudah kelihatan hilalnya gitu, kok! Tinggal menunggu eksekusi saja!" sahut Giarti. "Wani opo ora? Ojo kesuwen selak disamber wong liyo!" Ia ganti menggoda Banyu, menantang keberanian lelaki itu agar tidak kelamaan sebelum diambil orang lain.
Banyu cengar-cengir. Wangi mesam-mesem.
"Terima kasih banyak, Wangi. Aku ingin meluk juga, tapi takut dipukuli sama bodyguard-mu ini," goda Surip sambil melirik ke arah Banyu.
"Wah, jangan coba-coba, Pak!" sahut Banyu dengan air muka serius.
Wangi terkekeh, lalu menunjuk ke dus-dus besar. "Ini sedikit sembako, perlengkapan mandi dan cuci, serta makanan ringan untuk panti."
Giarti dan Surip berbarengan mengucapkan terima kasih. Surip lalu membuka dus dan mencatat pemberian Wangi tersebut di buku besar.
"Saya pikir yang dicatat hanya donasi berbentuk uang. Ternyata barang seperti ini juga?" tanya Banyu, teringat masalah donasi ayahnya untuk panti.
"Iya. Sejak dulu sudah dibiasakan semua yang diberikan untuk panti, baik berupa uang maupun barang dicatat. Selain untuk laporan, juga untuk menghindari fitnah korupsi," jawab Giarti.
"Masa ada yang menuduh pengelola panti seperti ini korupsi, sih, Bu?" tanya Wangi, membayangkan panti rehabilitasi jiwa semacam ini bukanlah "ladang basah", bahkan mungkin memaksa para pengelola dan petugas mengeluarkan uang pribadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penghuni panti.
"Kita tidak pernah bisa menduga omongan orang. Jauh lebih baik melakukan antisipasi. Kami ingin bekerja tenang, ingin apa yang kami lakukan jadi tabungan akhirat sehingga tidak mau hanya karena masalah uang atau barang membuat kami pusing." Giarti menjelaskan.
Banyu memandangi Giarti. Sosok perempuan tua sederhana yang tidak hanya punya kepedulian tinggi terhadap ODGJ, tetapi juga amanah dalam menjalankan tugasnya. Dari penampilannya, perempuan itu kemungkinan besar tidak berasal dari kalangan ekonomi menengah atas, tetapi sama sekali tidak rakus dengan harta. Giarti, Surip, dan petugas panti ini lainnya adalah sekelompok manusia langka. Manusia yang "sudah selesai dengan dunianya", menjalani hidup tidak memburu harta apalagi tahta, tetapi lebih fokus pada mencari makna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomanceKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...