28. Hujan di Awal Kemarau

8.8K 1.5K 206
                                    

Wangi menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma yang diendus oleh indera penciumannya. Petrikor yang menguar akibat tanah yang diguyur hujan memberikan ketenangan sekaligus semangat memulai hari. Hujan di awal kemarau bak secercah harapan menembus pergulatan hidup.

Wangi menutup pintu kamar, lantas melangkah menuju halaman rumah Banyu, seraya menyemangati diri untuk memulai hari kendati tubuh teramat lelah.

"Mas mau ke mana?" tanya Wangi. Dilihatnya Banyu keluar dari teras rumahnya. Lelaki itu mengenakan kaus oblong hitam dan celana jin, pakaian andalannya sehari-hari.

"Antar kamu."

"Tidak usah, Mas. Aku naik angkot saja. Kita baru sampai jam 1 malam, Mas perlu istirahat." Meski tidak bisa mengemudikan mobil, Wangi bisa paham betapa lelahnya menyetir Solo-Jakarta tanpa pengganti. Belum lagi semua drama yang terjadi di Gelem kemarin pastilah menambah kelelahan. Ia sendiri masih merasa tubuhnya teramat lelah.

"Sudah cukup tidurnya, kok. Habis hujan biasanya lebih macet, nanti kamu telat." Banyu tetap berusaha menawarkan diri untuk mengantar Wangi ke kantor.

Wangi mengulas senyum. "Semoga tidak. Mas tidur lagi saja sana!" Ia berusaha mendorong tubuh Banyu kembali ke teras.

Banyu menekuk wajahnya. "Lebih milih duduk di samping sopir angkot dibanding di samping pacarnya?"

Wangi tergelak, ekspresi Banyu persis anak kecil mengambek. Ia membuka mulut berbarengan dengan ponsel Banyu yang bergetar menandakan adanya panggilan masuk.

Banyu merogoh ponsel dari dalam saku, mengerutkan dahi begitu melihat nama yang terpampang di layar ponsel. "Kenapa, Teh?" tanyanya setelah mengucap salam.

Wangi ikut mengerutkan dahi, menerka siapa perempuan yang disapa "Teh" oleh Banyu. Baru kali ini didengarnya Banyu menyapa seseorang dengan panggilan seperti itu. Diamatinya air muka Banyu yang menegang seketika begitu orang yang menelepon menjelaskan tujuannya menghubungi Banyu.

"Oke, Teh!" ucap Banyu lantas menutup sambungan teleponnya.

"Kenapa, Mas?" tanya Wangi waswas, yakin ada sesuatu yang buruk.

"Tadi Teh Rike, kakaknya Lavi. Ibunya Lavi tidak sadarkan diri di rumah hanya bersama ART. Lavi tidak ada di rumah, katanya belum pulang dari malam. Ponselnya tidak aktif. Teh Rike sudah telepon rumah sakit untuk menjemput ibunya pakai ambulans, tapi minta tolong aku menyusul karena rumah dia di Bandung, tidak bisa segera sampai Jakarta."

"Astaghfirullah!" Wangi bisa membayangkan kepanikan yang dirasakan Rike.

"Aku antar kamu dulu, terus langsung ke rumah sakit." Banyu menarik tangan Wangi, mengajaknya bergegas ke mobil.

"Mas langsung saja ke rumah sakit. Arah ke kantorku dan rumah sakit kan berlawanan, belum lagi kemungkinan macet. Nanti Mas kelamaan sampai ke rumah sakit." Wangi tak mau Banyu tambah lelah dan cemas.

Banyu menoleh ke arah Wangi yang berjalan di sebelahnya. Meski tahu harus menolong keluarga Lavi, tetapi juga tidak mau membuat kekasihnya merasa dinomorduakan.

Wangi tersenyum, paham isi kepala Banyu. "Aku malah lebih gelisah kalau Mas harus bolak-balik, takut Mas kecapekan."

"Sungguh kamu tidak apa-apa?" Banyu mengusap lembut kepala Wangi, menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga kekasihnya.

Wangi mengangguk disertai senyum untuk meyakinkan Banyu. "Tidak apa-apa, Mas. Sungguh! Menolong orang yang sedang kritis jauh lebih prioritas, 'kan?"

Banyu tersenyum, mengecup ubun-ubun Wangi sebagai ucapan terima kasih atas pengertian kekasihnya.

Meneroka Jiwa 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang