"Yuk, Sayang!" ajak Banyu seraya meraih tangan Wangi.
Dahi Wangi berkerut, sejak kapan Banyu memanggilnya "Sayang". Apakah ini sisi romantis Banyu yang semakin muncul? Kendati bingung, tetapi daripada mendengarkan pertikaian kedua sepupu ini, ia tak mau banyak tanya. Ia segera bangkit dari duduk, meraih tas, berpamitan kepada Samudra dan Aghastyan, "Saya duluan, Pak."
Samudra memaksa diri tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Silakan!"
Aghastyan tidak berkomentar, tak menduga Wangi datang ke Yogyakarta bersama Banyu, dipikir hanya Samudra yang perlu dihadapinya.
"Kami naik duluan!" pamit Banyu kepada kedua lelaki itu, lantas merangkul Wangi, sengaja memamerkan kemesraan di depan Samudra dan Aghastyan.
"Naik ke mana, Mas?" bisik Wangi sambil berjalan menjauh. Sejak tadi, ia tidak paham maksud Banyu.
"Atap!" sahut Banyu.
"Ngapain?"
Banyu melirik tajam. "Biar tidak kepanasan!"
"Lah, wong, malam ini lagi banyak angin begini, bisa-bisanya kamu kepanasan, Mas!" sahut Wangi geli.
Banyu terkekeh, mengerjai Wangi masih begitu mudahnya. "Ya, ke kamar, dong, Sayaaang!"
"Tumben panggil 'Sayang', biasanya 'Ngak ... Ngik ... Ngak ... Ngik'," ledek Wangi.
"Efek kebanyakan makan gudeg."
Wangi tertawa, mencubit pinggang Banyu. Lelaki ini memang tidak pernah bisa romantis berlama-lama.
"Mas menginap di sini juga? Katanya mau di rumah Pakde?"
"Tidak ada kamar di sana." Nada suara Banyu menyiratkan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Sudah pesan kamar di sini?"
"Sudah," jawab Banyu, tetapi pikirannya jelas sedang mengembara. Ia menghentikan langkahnya. "Kamu duluan, tunggu aku dekat lift."
"Mas mau nga—"
Belum selesai kalimat dari mulut Wangi, Banyu melepaskan rangkulan, berjalan cepat kembali menuju meja tempat Samudra dan Aghastyan berada.
Samudra sedang menghabiskan wedang uwuh-nya, sedangkan Aghastyan hendak beranjak dari duduk ketika Banyu menghampiri.
"Saya rasa, kita sama-sama tahu ada apa di balik semua ini." Banyu langsung bicara tanpa basa-basi. "Apa pun rencana kalian, saya tidak mau ambil pusing. Namun, kalau sampai ada hal buruk menimpa Wangi, saya tidak akan ragu memberi kalian pelajaran!" ancamnya, lalu membalikkan tubuh, beranjak pergi.
"Tunggu!" pinta Samudra.
Banyu menghentikan langkah, kembali memutar tubuh ke arah Samudra.
"Boleh saya minta sesuatu?" Samudra bangkit dari duduknya, mendekat ke arah Banyu, menyampaikan permintaannya.
Aghastyan tak mau ketinggalan, ikutan mendekat, juga ikut mengajukan permintaan yang sama dengan yang disampaikan sepupunya kepada Banyu.
"Saya tidak bisa menjawab, itu terserah Wangi." Banyu beranjak pergi, menghampiri Wangi yang menunggunya dekat lift.
"Ngomong apa ke mereka, Mas?" tanya Wangi yang melihat Banyu tadi berbincang dengan Samudra dan Aghastyan.
"Nasihatin mereka, biar tidak pada berantem. Sudah om-om, tapi kelakuan kayak bocah!" sahut Banyu enteng.
"Terus, mereka mau dengarin Mas?"
"Tentu!"
"Oh, ya?" Wangi takjub.

KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomanceKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...