Banyu termenung di depan pintu kamar Wangi beberapa saat. Ada sekelumit rasa egoistis untuk masih mempermasalahkan soal sikap Wangi yang menceritakan soal almarhum ayahnya kepada Samudra. Id¹-nya masih ingin menunjukkan eksistensi, masih ingin melampiaskan naluri agresifnya. Namun, di saat bersamaan, ego²-nya mengajaknya melihat realitas. Membiarkan masalah berlarut-larut akan terakumulasi dan semakin sulit diatasi nantinya. Sikap Wangi yang belum cukup asertif dan ditambah peristiwa dengan Lavi tadi siang akan kian memperparah situasi. Superego³-nya pun kembali mengingatkan akan sikap yang seharusnya diambil.
Setelah terdiam beberapa saat, Banyu mengatur napas, menenangkan diri, lalu perlahan mengetuk pintu kamar Wangi.
Terdengar sahutan dari dalam kamar, tak lama wajah Wangi menyembul di balik jendela.
"Sudah tidur?" tanya Banyu saat Wangi membuka pintu kamarnya.
"Belum, baru selesai mandi."
"Aku mau bicara. Boleh?" Banyu menggerakkan kepalanya ke arah kamar Wangi.
Wangi menghela napas, lalu menganggukkan kepala dan membukakan pintu, mempersilakan Banyu masuk. Cepat atau lambat hal ini memang harus dibicarakan.
Banyu duduk di tepi tempat tidur. Dari beberapa perkataan Wangi tadi, ia yakin Wangi pasti melihat Lavi memeluk dirinya di ruang tunggu ICU. Sebuah penjelasan singkat sudah nyaris terlontar dari mulutnya, tetapi teringat nasihat konyol dari Sance tadi perihal kecenderungan wanita. Selain itu, ia harus membiasakan Wangi lebih asertif mengutarakan perasaannya.
"Kamu melihatku di ruang tunggu ICU rumah sakit?" tanya Banyu, menepuk pinggiran kasur, meminta Wangi duduk di sampingnya.
Wangi mengangguk, duduk bersebelahan dengan Banyu di tepi tempat tidur.
"Kamu lihat aku sedang ngapain?"
"Pelukan sama Mbak Lavi. Mas ngelus-ngelus kepalanya," sahut Wangi pelan. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak.
"Kamu ngapain ke ruang ICU?" Banyu tidak bisa menutupi rasa penasarannya. Ruang tunggu ICU tidak terletak di koridor utama yang dilalui banyak orang.
"Diajak Pak Aghas sambil nunggu dokter yang mau ditemui."
Dahi Banyu berkerut. "Ngapain dia ngajak kamu nemuin dokter?"
"Mau memperlihatkan cara memersuasi klien."
"Apa hubungannya sama pekerjaanmu?"
"Dia memintaku jadi sales di divisinya."
Kerutan di kening Banyu bertambah, melanjutkan interogasi, "Jadi, sambil nunggu dokter, dia ajak kamu ke ICU?"
"Awalnya mau keliling, kebetulan melewati ICU."
"Kebetulannya luar biasa banget, ya," sindir Banyu, merasa ada yang janggal.
"Iya, bisa pas banget sama Mas lagi meluk Mbak Lavi, 'kan?" sahut Wangi kesal.
"Bukan aku yang meluk, tapi dia peluk aku!" Banyu membela diri.
"Aku lihat jelas banget, kok! Mas peluk dia, elus-elus kepala dia!" Wangi mulai menarik-narik ujung dasternya, menahan cemburu.
"Kejadian sebenarnya tidak seperti itu!"
"Semua yang ketahuan juga akan bilang begitu!" gumam Wangi, wajahnya kian merengut.
"Ketahuan apa?"
"Ketahuan selingkuh!" sahut Wangi kesal. Perkataan Aghastyan tentang Banyu yang lebih menyayangi Lavi kembali terngiang di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meneroka Jiwa 2
RomanceKetika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang hakiki atau hanya kembali menorehkan luka di hati? Kisah ini masih tentang Wangi, anak dari penderita...