EPILOG - After Many Days of Pretending

214 8 73
                                    

Angin lembut menyusupi pori-pori dengan piawai. Betah senantiasa menyapa ramah seperti hari-hari sebelumnya. Beberapa langkah mendiami titik nostalgia yang selalu menyentuh titik terdalam di dada, garis-garis waktu berhegemoni bagai pasir warna-warni dalam botol kaca. Berbeda namun selaras.

Dan semakin ia menyadarinya sekian lama, rasanya semakin menyenangkan.

"Ify, jangan terlalu lama berdiri di sana. Kita masih harus ke tempat lain setelah ini. Segera kembali ke bawah. Kami menunggumu, oke?"

Nyaring panggilan lelaki paruh baya dengan janggut tipis di sekitar rahang tak berhasil mengusik wajah teduh Ifiana. Lipatan kelopak matanya yang tampak segar memilih untuk menutup sementara waktu. Dalam senyap yang lelap dalam bayang hitam di matanya, indra-indra meruncing.

Tungkai jenjang tertahan, tak sengaja menyentuh pagar setinggi pinggang yang membatasi tepian yang lama lalu masih lenggang. Sepuluh jemari bergantian menari di permukaan licin gurat-gurat pagar yang masih menguarkan bau cat. Aroma dedaunan dan bunga liar pun merambat ke rongga penciuman. Membuatnya ingin mengulur waktu lebih lama dengan posisi yang sama.

Suara yang terkatakan untuk dirinya sendiri terbang terbawa angin. Bibirnya tanpa sadar terangkat samar.

"Terima kasih sudah menyelamatkan aku waktu itu. Tanpa kamu, Yo, mungkin sekarang aku gak akan ada di sini."

Daun telinga Ify menangkap sesuatu yang jauh bergelepak mempertipis jarak. Ia masih belum bergerak, hingga desah napas lain yang terbenam pada ceruk lehernya menambah kehangatan di sekujur tubuh.

"Bilang apa tadi?"

Sepasang lengan perlahan turun ke lekuk pinggang. Terasa erat melingkari pinggang kecil itu dengan sempurna. Tak payah hati mengeluarkan usaha tambahan untuk menerka, tiga kata‒bahkan tanpa sepatah kata pun‒frekuensi bariton jelas telah cukup memberinya sebuah nama pemilik.

"Hm? Rahasia."

Yang menerima respons hanya terkekeh merdu. Menenggelamkan kepala di pundak favoritnya.

"Perihal yang begitu seharusnya sudah setahun lalu. Kita sudah bebas dari hidup yang dulu. Tidak capek selama kemarin nyembunyiin rahasia terus? Yakin kamu masih mau melakukannya sampai sekarang?"

Ify mengelipkan mata beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya silau yang jatuh ke retina sekaligus terasa sedikit berkedut karena menahan tawa.

"Tidak juga." Bingkai wajah sengaja ia sandarkan ke puncak lain milik laki-laki itu. "Kamu sendiri? Apa kamu sudah merasa bebas?"

"Urusan mendekam di penjara ataupun urusan hukum-menghukum, istilahnya aku sudah merasa di rumah kedua. Jadi kalau saja ada yang memandangiku seolah kabur padahal aku sudah bebas, kurasa bukan masalah." Nadanya bergelombang tatkala mempermainkan kata 'bebas' yang Ify tujukan padanya secara literal.

"Aku serius, loh. Jangan bilang seperti itu." Mengendikkan bahu, rambut harum yang terlihat dari ujung mata tergerak. Namun bisa-bisanya berbalik lagi membungkuk lalu bertengger di bahu.

Sepintas gadis itu mencuri pandang. Raut menang khas Rio Kilimanjana berjarak tak sampai sejengkal dengan dia.

Oh, tolonglah. Mengapa sifat Rio yang satu itu masih juga belum berubah, atau minimal berkurang? Rio tetaplah Rio yang menyebalkan. Rio yang benar-benar sama dengan Rio yang lekat di benak saat mereka berada di titik ketinggian yang persis waktu itu.

Embusan Ify terasa menggelikan. Kerutan di bibir maskulin hampir saja meledakkan tawa. Jujur, ia selalu suka wajah sebal Ify. Bersamaan dalam interval sedekat ini, selama ini, Rio menikmati Ify yang mengekspresikan apa pun sesuka hatinya.

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang