Hujan lebat mengguyur Kyoto sore ini. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, berpapas-papasan tapi tak saling menyapa. Rutinitas padat kota ini membuat orang-orang enggan melempar senyum satu sama lain. Mereka pikir itu bukan hal yang penting kecuali punya urusan pribadi. Seperti yang satu ini. Menatap arloji mahal di tangan kirinya, benda itu berkilauan membias di bola mata hitam. Tangan kanan sibuk menyesap cappucino, menghangatkan suhu tubuh dari dinginnya udara. Earphone putih yang tersambung ke ponsel terus memutar lagu kesukaannya.
"Ya ampun, hari ini pun terlambat menjemput." Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menggerutu di halte bus. Kesal bercampur tak sabar. Alih-alih menunggu bis seperti yang dilakukan orang-orang, dia justru terlihat tak tertarik sama sekali saat transportasi umum itu berhenti dan langsung diserbu para penumpang.
Orang-orang baru selesai dari pekerjaan mereka dan berniat pulang ke rumah menggunakan bus. Yang dilakukannya tak jauh berbeda dari orang-orang, hanya saja tidak berniat naik bis seperti yang biasa dia lakukan.
Satu-persatu bus mulai meninggalkan halte setelah orang-orang berbaur menaikinya. Hanya dia yang masih bertahan di sana. Maniknya mencari ke setiap sudut jalan. Sekitar tigapuluh detik kemudian, mobil favoritnya muncul dari sudut jalan sebelah kiri. Dia tersenyum sambil melepas earphone dengan cepat. Antusias. Jeep merah melaju pelan ke arahnya.
"Matthew!"
Mobil jeep merah berhenti tepat di depan gadis dua puluh tiga tahun itu. Kaca samping mobil terbuka, menampakkan sosok pemuda tampan berusia dua puluh lima tahun di sana. Ekspresi bahagia tampak jelas saat dia membalas senyum si gadis.
"Maafkan aku, Yukiko. Hari ini terlambat lagi." Pemuda tampan yang dipanggil Matthew berujar sambil menatap mata kekasihnya. Hanaya Yukiko tersipu di tempatnya berdiri, melupakan hujan yang turun sejenak. Manik Matthew yang sebiru laut seperti membiusnya.
"Naiklah, kita pulang sekarang."
Yukiko mengangguk dan melangkah cepat ke dalam mobil. Senyum tak henti menghiasi wajahnya, Matthew memperhatikan dari kaca depan.
Jeep merah melaju dengan kecepatan pelan. Matthew menyalakan radionya. Lagu-lagu pop indie mulai terdengar. Yukiko tersenyum di sebelahnya, melirik wajah kekasihnya yang tengah mengemudi.
"Bagaimana keadaan restoran hari ini?"
"Ramai seperti biasa. Aku akan kembali besok."
"Nanti malam tidak mengecek lagi?
"Nanti malam aku mau pergi bersama Matthew."
Pertanyaan yang rutin Matthew tanyakan pada Yukiko hampir setiap kali dia menjemputnya. Mengelola restoran dimsum di Kyoto butuh banyak kesiapan, apalagi di usianya yang masih muda. Yukiko membuka restoran itu atas bantuan dana dari pamannya setahun yang lalu. Menjadi salah satu pengusaha muda yang sukses, banyak yang mendekatinya. Walau pada akhirnya dia jatuh ke pelukan Matthew Arilson, seorang pelukis asing yang sangat suka traveling. Usia mereka terpaut dua tahun, menjadikan komunikasi di antara keduanya tidak terlalu sulit. Mengingat keduanya sama-sama tinggal di Kyoto sekarang, mereka selalu menyempatkan waktu untuk bertemu.
Tangan kiri Matthew bergerak untuk menyentuh punggung tangan Yukiko. Senyumnya kembali, membuat gadis di sebelahnya tersipu lagi.
"Kamu yakin pamanmu akan mengizinkan kita keluar malam ini?"
"Kurasa begitu."
Hubungan mereka baru berjalan setengah tahun, dan selama setengah tahun berlangsung, Matthew dan Yukiko hanya mengetahui sedikit tentang keluarga masing-masing. Matthew tahu orang tua Yukiko tinggal di Okinawa, dan dia hanya tinggal berdua bersama pamannya di Kyoto. Sementara Yukiko hanya tahu orangtua Matthew tinggal di Odense, Denmark dan tidak pernah mau ikut campur soal urusan anak lelaki mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Path Of Life
RomanceTakdir menarik keduanya bak kutub magnet, menciptakan benang merah yang sulit mengendur walau mereka ada di jalan yang berbeda. Mungkinkah dua insan yang berdiri di persimpangan akan bergandengan menempuh jalan yang sama. [Adult romance, crime, badm...