"Hai, Junji ... atau siapapun yang menonton ini, apa kalian masih ingat padaku? Ini teman kalian, Shana Xin. Kurasa bukan saat yang tepat untuk menanyakan kabar dan melepas rindu kita. Maksudku, ini sudah keterlaluan, kan? Soal tindakan kalian. Aku tahu semuanya, Junji, Peter dan ... Midori."
Batas antara visual yang terpampang di depan matanya seolah hanya layar kaca yang tipis. Tanpa perantara lain dan Junji seperti yakin bahwa dia bisa menyentuhnya secara langsung. Rapuh. Relung yang telah lama kosong seperti ada yang mengetuk, meruntuhkan pertahanannya selama ini. Hanya dengan mendengar suara teman lamanya dalam sebuah rekaman video yang dikirim lewat email lamanya, mata Bos kelompok judi ilegal itu berkaca-kaca. Shana Xin, salah satu yang menjadi orang paling penting dalam hidupnya beberapa tahun yang lalu. Keping-keping kenangan itu kembali tanpa diduga. Tanpa aba-aba. Junji mana tahu, kalau perempuan Tionghoa itu bakal merencanakan sesuatu seperti ini. Mereka putus kontak tanpa alasan--walaupun Junji yakin itu semua ada hubungannya dengan peristiwa beberapa tahun yang lalu saat Midori tewas--. Dan Shana seperti tak pernah mencarinya lagi, walaupun sejenak, kadang dia merindu. Dia rindu segala hal tentang Shana Xin yang menyenangkan.
"Aku tidak tahu harus mengatakannya mulai darimana. Yang jelas ... Junji, kumohon berhenti." Nada kalimat itu benar-benar tulus.
"Segala hal yang terjadi pada kalian bertiga, maksudku kau, Peter dan Midori, aku sudah tahu semuanya. Seseorang mengatakan segalanya padaku, dan aku yakin, bahwa maksud dari tindakanmu yang sesungguhnya tidaklah buruk. Junji, aku tahu soal perasaanmu untuk Midori. Kau jatuh cinta padanya, 'kan? Sebelum semuanya menjadi makin rumit, hentikan saja! Dulu kau selalu percaya padaku, 'kan? Kalau begitu, tolong percaya padaku sekali lagi. Semua akan baik-baik saja jika kau menghentikan semuanya sekarang. Aku bisa jamin itu. Aku, dan juga ... Peter. Iya, 'kan Peter? Kita akan berkumpul lagi seperti dulu, walaupun keadaannya berbeda. Jangan menanggung beban sendirian. Aku tahu kau pria baik yang tahu bagaimana cara menghargai sebuah hubungan. Semua ini berawal akibat hancurnya hubunganmu dan Peter, juga Midori, 'kan? Kalian bahkan tidak melibatkanku."
Semua memori dalam kepala Junji berputar. Itu sungguh persis seperti narasi film aksi yang berakhir sedih. Tapi lebih rumit. Ada hal-hal yang tidak bisa diperbaiki ketika itu terlanjur rusak, dalam jangka waktu yang telah lama. Dia pria dewasa. Dia mengerti segala konsekuensi yang akan dia tanggung karena perbuatannya. Junji pasrah. Demi menyambung kembali ikatan yang putus, dia rela menanggung beban itu sendirian. Padahal, dia sadar betul ikatan itu takkan benar-benar tersambung kembali. Kenyataannya makin semu. Dan dia yakin, hanya ilusi dari dalam kepalanya yang akan semakin menenggelamkannya ketika dia mengingat Midori yang sangat dia cintai.
"Tidak. Aku telah gagal ... aku gagal memperbaiki ikatan itu, Shana." Dia bergumam pelan. Senyum pahit tampak di wajahnya. Sendu.
"Tidak ada yang bisa kuperbaiki pada akhirnya. Tentang Midori, ataupun ikatanku dan Peter. Itu tidak akan mungkin lagi. Aku sendirian sekarang. Aku hanya punya diriku."
Pria itu memejam erat kedua matanya. Tangan saling mengepal erat, jemari bertautan. Air matanya tiba-tiba lolos dari sudut matanya, terisak pelan kemudian. Junji menunduk, tak bisa berhenti menatap lantai untuk sekedar melihat ekspresi wajah teman lamanya dalam video yang masih diputar.
"Kau tahu, selama ini aku berjuang untuk melawan kanker dalam tubuhku. Sekarang aku sudah sembuh, Junji. Aku berhasil! Aku yakin kau juga bisa menyelesaikan masalahmu. Kita akan kembali berkumpul seperti dulu."
"Tidak. Kita bertiga tidak bisa. Aku tidak bisa tanpa dia-"
"Kita berempat. Aku, kau, Peter dan Midori. Kita semua."
DEG.
Junji berharap kalau ucapan yang lolos dari bibir Shana hanya bualan belaka, atau hanya sekedar kalimat penghibur yang harusnya wanita itu ucapkan sejak lama. Andai. Mungkin maksudnya 'andai'. Tapi Shana tersenyum manis setelah mengatakan. itu. Junji melihat dengan segala keberaniannya yang tersisa. Dia berhenti menatap lantai untuk memastikannya sendiri. Senyum Shana masih sama seperti dulu. Junji yakin itu pertanda baik. Dia berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Path Of Life
RomanceTakdir menarik keduanya bak kutub magnet, menciptakan benang merah yang sulit mengendur walau mereka ada di jalan yang berbeda. Mungkinkah dua insan yang berdiri di persimpangan akan bergandengan menempuh jalan yang sama. [Adult romance, crime, badm...