Sakura menerima sebuah pesan dari Natsuki tiga puluh menit yang lalu. Tidak biasanya atasannya itu memintanya datang ke apartemennya. Sebelumnya tak ada masalah, sampai Sakura memutuskan untuk keluar dari rumah Natsuki dan tinggal bersama Matthew. Kalau soal membahas urusan pribadi, mereka menjadi sangat canggung sekarang.
Pakaiannya serba rapi, padahal dia yakin kalau pria itu hanya ingin membahas satu-dua hal yang tidak terlalu penting, versinya. Mungkin penting untuk Natsuki, tapi tidak lagi untuk Sakura. Kecuali itu menyangkut tugas, dia akan bergegas. Tapi kali ini bukan. Jadi, memperlambat perjalanan sengaja dia lakukan. Nyaris satu jam, memang. Tapi usahanya gagal. Saat dia sampai di depan pintu apartemen Natsuki, pria itu membukanya kurang dari lima detik, setelah ketukan kedua. Dan anehnya, dia sama sekali tidak menunjukkan raut kesal. Senyum tipis terukir di wajahnya. Hari ini Ryogi Natsuki tampak sederhana dengan balutan jeans hitam dan sweater merah tua.
"Maaf, aku terlambat-"
"Tidak masalah, ayo masuk."
Seperti ada yang istimewa. Sakura tidak tahu apa itu. Walaupun dia sudah memasang wajah cukup masam di hadapannya, pria yang pernah menjadi kekasihnya itu itu tetap bersikap baik padanya.
"Mau bicara soal apa, Natsuki-kun?"
****
Sebuah sedan hitam berhenti di distrik yang ramai. Orang-orang masih berlalu-lalang memadati jalanan walaupun waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Seorang perempuan berambut blonde sepunggung yang berada di kursi kemudi mematai tempat asing di sebelah kirinya. Sementara pemuda yang duduk di samping kursi kemudi hanya tertunduk lemas di tempatnya. Ekspresi di wajahnya menunjukkan seluruh perasaannya saat ini. Bimbang dan menyesal.
"Aku akan lakukan tugasku secepat mungkin-"
"Kau yakin akan melakukan ini?"
Gadis di balik kemudi menghentikan pergerakannya sebelum keluar dari mobil, mematai pemuda di sebelahnya yang terlihat pucat.
"Tentu saja. Kau pikir, untuk apa aku mau jauh-jauh datang ke sini kalau tidak ingin melakukan pekerjaan ini."
Pemuda di sebelahnya menghela nafas. "Dia sudah tahu soal kenyataannya. Jangan buat dia makin sakit dengan kenyataan pahit lainnya-"
"Matthew yang menyuruhku untuk melakukan ini. Aku tidak bisa menolak permintaan temanku."
Gun menunduk di tempatnya. Tangan mengepal erat di atas pangkuan. Tak bisa menghentikan waktu bak sedetik saja. Dia ditinggalkan dengan cepat oleh rekannya yang keluar dengan cepat dari sedan hitam. Harus terima kenyataan lagi. Pemuda itu mematai langit-langit mobil dengan perasaan yang berkecamuk di hatinya.
"Yukiko-san, maafkan aku."
****
Memperhatikan jarum jam yang bergerak sangat lambat, dia menghela nafas berulang kali, lalu menuangkan wine ke dalam gelas kaca, meminumnya sampai habis dan terus berulang. Pukul sepuluh terasa sangat sunyi malam ini. Biasanya, pelanggan masih berdatangan hingga pukul sebelas lebih lima belas atau dua puluh. Restoran dimsum milik Yukiko tutup di jam dua belas malam. Dia sama sekali tak berencana untuk menutup restoran lebih awal hari ini. Banyak hal yang terjadi dan sejujujurnya itu sangat mengganggu. Yukiko hanya coba untuk tetap mengontrol dirinya sekarang.
"Restoran ini masih buka, 'kan?"
"Ah, iya." Yukiko bereaksi cepat ketika suara asing seorang perempuan membuyarkan lamunannya.
Dia bicara menggunakan bahasa inggris hingga spontan membuatnya menjawab dengan bahasa yang sama. Pandangan gadis itu mengarah ke pintu masuk, di mana sosok perempuan tinggi berambut blonde berdiri sambil tersenyum tipis padanya. Perempuan itu kemudian melangkah masuk ke dalam restoran dan mendekatinya di meja bar. Tubuhnya yang tinggi dan warna matanya yang biru mengingatkannya pada Matthew.
KAMU SEDANG MEMBACA
Path Of Life
RomanceTakdir menarik keduanya bak kutub magnet, menciptakan benang merah yang sulit mengendur walau mereka ada di jalan yang berbeda. Mungkinkah dua insan yang berdiri di persimpangan akan bergandengan menempuh jalan yang sama. [Adult romance, crime, badm...