Jantungku semakin berdetak kencang kala Mas Wira membelokkan mobilnya memasuki pelataran rumahnya.
Tanpa sadar tanganku sampai meremas dress selutut yang sedang kukenakan.
"Wah, wah! enak ya yang sedang berbulan madu," sindir mama mertuaku ketika kami memasuki pintu rumah.
"Bukan bulan madu, Ma. Kami terjebak hujan, mobil pun mogok. Bukannya Wira udah kasih tau mama di telpon? Ini aja tadi benerin mobil dulu baru belanja ke pasar," sahut Mas Wira menjelaskan.
"Iya, tau. Yang mama herannya kok kalian bisa barengan? apa Yessi nelpon kamu, ya?" sangka mama.
"Kemarin Wira mau ketemu klien, Ma. Nggak sengaja malah ketemu Yessi di jalan, katanya mau belanja."
"Lagian, ngapain sih mama pakai nyuruh-nyuruh Yessi belanja segala? memangnya Bik Inah ngapain aja? bukannya biasanya yang belanja Bik Inah?" lanjut suamiku.
Sementara aku terus menundukkan kepala sejak tadi.
"Eeee! enak saja kamu tuduh mama yang nyuruh dia belanja. Orang dia yang mau sendiri, kok!" sangkal mama dan langsung ngeloyor pergi begitu saja meninggalkan kami.
Aku menghembuskan napas. Mama sepertinya tidak ingin puteranya sampai tahu jika selama ini sikapnya sering kasar terhadapku. Terbukti mama terus saja bersandiwara di depan Mas Wira.
"Kita langsung ke kamar. Ayo?" ajak Mas Wira.
"Mas duluan aja. Aku mau cuci tangan dulu," ujarku.
"Ya, sudah. Aku duluan naik, ya?"
Aku mengangguk, lalu berjalan ke dapur bersamaan dengan Mas Wira yang mulai menaiki anak-anak tangga menuju ke kamar.
Kuputar kran air lalu segera mencuci tangan di bawahnya. Setelahnya, aku pun mengelap tangan dengan handuk kering yang selalu tersedia di gantungan.
Tiba-tiba saja rambutku ditarik kuat oleh seseorang dari belakang. Aku pun mengaduh kesakitan.
"Kamu ngadu apa sama Wira, hah!"
Ternyata mama!
"Aduh, Ma! sakit. Tolong lepasin, Ma. Aku nggak ngadu apa-apa sama Mas Wira. Sungguh!" rintihku.
"Kamu mau coba bohongin saya, ya? awas kamu kalo ngadu aneh-aneh sama Wira. Kamu akan tau akibatnya!" hardik mama seraya melepaskan jambakannya dengan sangat kasar. Kepalaku sampai sedikit oleng ke depan.
Aku membenahi rambutku yang lumayan acak-acakan. Ya, Tuhan? kasar sekali mertuaku.
"Mana uang yang kemarin? tadi belanja pakai uang Wira, kan?" tanya mama menagih uang yang kemarin diberikannya padaku. Tangan kanannya menadah ke depan.
Bergegas, aku pun merogoh saku dan menyerahkan selembar uang kepada mama.
Mama mengambilnya dengan kasar.
"Uang apa itu?" Tiba-tiba suara Mas Wira dari ambang pintu dapur terdengar cukup mengagetkanku. Aku menoleh dan melihat pria bertubuh atletis itu sedang berjalan menghampiri kami berdua. Kulihat ekspresi mama juga tak kalah terkejutnya melihat kedatangan puteranya yang secara tiba-tiba itu.
"Uang apa ini, Ma?" ulang Mas Wira sembari meraih uang yang sedang di pegang mama.
"Oh, eng ... itu-"
"Jawab, Ma! ini uang apa!" bentak Mas Wira. Bahu mama sampai terlonjak kaget dibuatnya.
"Mas!" Aku mencoba memperingati Mas Wira agar menurunkan emosinya. Tak pantas rasanya seorang anak membentak ibu kandungnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Berselimut Noda
RomanceYessi harusnya menyadari jika Wira menikahinya hanya karena ingin menutupi aibnya saja. Adalah Yessi Ananda, seorang gadis cantik, baik hati serta ceria. Suatu hari ia menemukan jika dirinya tengah mengandung seorang janin. Menjadikan ayahnya yang...