Buku Agenda Di Rumah Baru

536 22 2
                                    


Hunian baru ini terdiri dari dua lantai. Warnanya didominasi oleh cat putih. Bentuknya simpel namun tampak elegan. Ada taman kecil di sekeliling rumah yang ditumbuhi oleh rumput jepang, menambah kesan asri pada hunian minimalis tersebut.

"Ini semua Mas yang nanem?" tanyaku begitu tiba di taman belakang rumah yang juga berbentuk minimalis.

Mas Wira mengangguk. "Suka nggak?" 

"Suka sekali. Aku nggak nyangka Mas pinter soal tanam-menanam," pujiku.

Terdapat beberapa tanaman hias di dalam pot-pot kecil yang ditata apik sedemikian rupa. Serta di pojok taman ada sebuah kolam ikan hias berbentuk mini, cantik sekali. Semuanya dibuat serba mini, namun itulah yang kusuka.

"Kamu suka rumah ini, Yessi?" 

Aku mengangguk secara antusias. "Rumahnya nyaman, Mas. Juga sejuk."

Mas Wira tersenyum lalu memelukku dari belakang. "Semoga kamu betah tinggal di sini, ya?"

"Aamiin."

"Boleh aku tanya sesuatu, Yessi?"

"Hm. Mas mau nanya apa?" tanyaku sembari agak mendongak, agar aku dapat melihat wajahnya.

"Tadi papi bilang akan memberikan keadilan buat kamu. Emm ... maksudnya keadilan apa, Sayang?" tanyanya hati-hati.

"Oh ... itu. Mengenai teror waktu itu, Mas. Aku cerita ke Bang Yossi masalah itu. Habis aku nggak tau lagi mau cerita sama siapa," sahutku sembari menghela napas.

Mas Wira lantas meletakkan dagunya di ceruk leherku. Tidak nyaman sebenarnya. Bulu janggutnya yang baru tumbuh terasa menusuk tajam di kulitku.

Aku sengaja terdiam lama menunggu akan seperti apa responnya. Namun hingga beberapa saat lamanya ia hanya diam sembari terus memelukku.

"Kamu mau makan apa siang ini?" tanyanya.

"Makan kamu," sahutku mencandainya.

"Beneran?" guraunya.

Aku tertawa.

Tak lama kemudian terdengar suara bel pintu berbunyi.

"Itu pasti barang kita sudah datang," ucap Mas Wira.

Kami berdua lalu bergegas ke depan untuk membukakan pintu. Benar saja, di hadapan kami telah berdiri seorang supir pengantar barang. 

"Mau nganter barang atas nama Pak Wira, Mas. Apa benar ini alamatnya?" tanyanya.

"Benar, Pak. Bawa masuk ke sini aja Pak mobilnya," jawab suamiku.

"Oh, baik kalau gitu. Saya bawa masuk dulu mobilnya, ya." Setelah berkata demikian, supir tersebut pun bergegas membawa masuk mobilnya yang masih terparkir di luar pagar. 

Dengan dibantu oleh salah satu asistennya, keduanya lantas menurunkan barang-barang milik kami yang baru saja diambil dari rumah mertua.

Kurang lebih lima belas menit kemudian, pekerjaan pun telah rampung dikerjakan. Lagi pula, barang-barang milik kami juga tidak terlalu banyak. Hanya beberapa kardus besar yang berisi barang pribadiku juga Mas Wira.

Tepat setelah kedua orang itu pulang, handphone Mas Wira berbunyi. Suamiku itu lantas beranjak dari sisiku guna mengangkat panggilan. 

"Oke-oke. Baik! Saya segera ke sana!" Kudengar ia berbicara dengan si penelepon.

Tak lama kemudian, ia pun kembali lagi.

"Yessi, aku keluar sebentar, ya. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Nggak lama, kok. Nanti pulangnya aku sekalian beli makan siang. Atau, mau aku pesenin aja sekarang?" tawarnya.

Pernikahan Berselimut NodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang